Satu tawa menggelegar milik Cakra buat kegaduhan yang ada di kantin siang itu makin riyuh. Bagaimana tidak tertawa disana ada seorang siswa bernama Badrun yang acap kali dipanggil Uun bertubuh besar akibat obesitas terjatuh menyebabkan segala makanan yang ada digenggamannya melayang. Yang paling mengenaskan adalah kuah sisa mie ayam yang dibawanya turun basahi kepala.
Abraham yang melihat Cakra tetawa puas hanya menggelengkan kepala, bukannya dibantu malah diketawain, batin Abraham.
Berdiri dari duduknya Abraham hendak mengambil langkah menuju sebuah insiden paling mengenaskan yang hanya jadi bahan tertawaan siswa lainnya. Bukan karena empati tidak ada pada diri tapi intuisi untuk tertawa dulu baru gerak bantu telah jadi tradisi.
Baru akan julurkan bantuan ada satu langkah yang mendahului Abraham. Senyum ruah pada bilah bibir Abraham saat lihat siapa gerangan yang membantu itu.
Tatapan Uun tampak ragu kala mendapat uluran tangan milik Rafanza. Karena itu Rafanza dan tidak biasanya lelaki berprangai buruk itu membantu orang lain. Terlebih akhir-akhir ini perubahan sikap sang prangai buruk terlihat jauh lebih berbeda hari demi hari.
Lebih ramah dan mendahui kemanusian. Emosi yang lebih mudah teredam, tanpa ada adu urat leher atau adu tinju.
Karena setiap ada yang membuatnya emosi, Rafanza sudah terbiasa memghitung sampai sepuluh detik dengan atur nafas. Redamkan amarah walau terkadang sulit.
Tepat disamping Rafanza ada Sheila yang berdiri dan tersenyum pada Abraham. Sebenarnya Abraham bingung dengan kedekatan dua manusia itu apalagi Rafanza yang terlihat tidak menjaga jarak malahan jarak itu terbentuk dengan Crystal.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Omong-omong tentang Sheila, sejak hari dimana ia bertemu Rafanza tepat didepan rumah sakit. Rafanza coba memgerti kondisi.
Rafanza sama sekali tidak mengira bahwa sakit yang diderita Sheila lebih parah dari apa yang dipikirkannya. Ia bahkan meremehkan keadaan gadis itu dan menganggap itu hanya sandiwara yang telah diatur sekian rupa.
Rafanza mencoba menerima untuk dekat kembali dengan Sheila namun tidak dengan kesepakatan menjadi perantara relasi kerja perusahan sang Ayah. Rafanza tidak ingin menjadi boneka perusahaan.
Setelah membantu Uun berdiri Rafanza menepuk dua kali pundak lelaki berbadan gemuk itu berlalu, "Hati-hati lain kali Uun, gak bakal ada yang minta makanan lo." Ujar Rafanza lalu tersenyum kecil berjalan kearah Abraham yang hanya berdiri diam memperhatikannya.
"Ham, pesenan gue gimana?" Rafanza sudah menitip pada Abraham untuk pesankan nasi Ayam tanpa sambal dengan tambahan sayur.
"Udah, noh sama Cakra disana. Tumbenan lo makan nasi dikantin?"
"Bukan buat gue," kepala Rafanza sedikit bergetak mengatah kearah Sheila yang berjalan lebih dulu.
"Baikan lo sama dia?"
Rafanza mengangguk, "Dokter gue bilang memaafkan lebih baik dari biarin itu jadi kenangan buruk."
"Ternyata mental tuh segini berpengaruh ya sama hidup, beneran aja lo keliatan beda, beda dari perspektif lebih positif keliatannya."
"Hope so, i'am just want be human usually do. Bukan si devil Rafanza."
Cakra nampak memakan makanannya tanpa ada ajak satu patah kata bicara debgan Sheila yang sudah duduk tepat dihadapannya.
"Diem-diem aja Cak, ngobrol kek." Ujar Rafanza setelah ambil tempat duduk disebalah Sheila.
"Males banget gue, ngapain. Lo juga ngapai deket-deket sama dia sih Raf, lupa lo gimana jahatnya dia dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...