41. Maybe?

42 1 0
                                    

Rafanza yang sudah berada dilapangan tenis lapangan tepat jam tujuh malam ini menatap sekeliling. Sialan, umpat Rafanza dalam hati saat tidak melihat dua sosok yang sudah melambaikan janji akan berada disana tepat waktu malah tidak ada.

Wajah masam tentu telah tergambar dan Rafanza cukup kesal. Apa menepati janji sesusah itu, mengapa harus selalu mengulur waktu. Padahal semua yang ditunda itu tidak baik pula.

Sejenak Rafanza tersenyum mengejek, mengejek dirinya sendiri karena telah sok mengetahui tentang segala yang ditunda dan mengingkar janji. Mengejek karena ia pula telah menunda untuk menjelaskan pada Crystal, mengingkar janji karena telah tidak terbuka akan apa yang sedang ia hadapi. Ternyata ia sangat pengecut dalam hal seperti ini.

Deru mesin motor memasuki indra pendengaran Rafanza dan segala atensi miliknya kontan berbalik. Kearah motor vespa model lama yang baru saja dibeli oleh Cakra. Warnanya merah dan telah dibenahi hingga mesin dan segala kembali benar karena telah lama tidak digunakan.

"Wuih, apanih udah dateng duluan si Rafa, tumbenan.." ujar Cakra setelah menghentikan motornya, lalu Abraham yang memang ia bonceng dengan sengaja memukul kepala yang masih terpasang helm dengan cukup kuat.

"Lo yang lama, bawa vespa buat apa sih, gak bisa buat cepet-cepet." Ujar Abraham dengan sedikit menggerutu.

"Dih, salah siapa, lo minta jemput gegara motor lo ditarik kan sama Bapak lo." Cakra menjulurkan lidah mengejek muka tidak bersahabat milik Abraham.

Dan wajah tidak tahu apa-apa milik Rafanza, "Ada masalah apa lo Ham? Sampe motor di sita?"

Abraham berbalik dengan wajah malas, malas membahas kembali, "Gue emang biasanya pulang malem dan gak masalah kan, eh, tiba-tiba kemaren Ibu bilang gak ada motor. Karena gue udah buat anak gadis orang nangis, ngaco banget."

Menghela nafas berat Abraham kembali membuka suara, "Gimana bisa gue buat anak gadis orang nangis coba, ada-ada aja emang. Liat dimana coba, deket sama cewek aja engga deh perasaan gue."

"Perasaan lo aja kali, lo lupa aja udah buat nangis anak orang." Ujar Cakra dengan tatapan menelisik.

"Sebrengsek-brengseknya gue kaga pernah ada niatan buat buat nangis anak orang, enteng banget mulut lo kek gue playboy anak kemaren."

"Coba lo inget-inget deh Ham, siapa tau, siapa tau aja nih ya. Lo pernah buat nangis orang terus gak sengaja Ibu lo liat." Kali ini Rafanza berujar, karena benar saja. Selama mengenal Abraham tidak pernah sekalipun lelaki itu terlihat bersama dengan perempuan dalam artian memiliki perasaan lebih. Apalagi cerita lelaki itu sampai membuat anak orang menangis, gak mungkin sih, menurut Rafanza.

"Ah pusing gue, udah lah yok main." Abraham mengeluarkan raket miliknya lalu dengan satu bola dilempar lada lantai.

"Kalo kata gue sih kepala lo kepentok aspal pas main skateboard, jadi lupa ingatan." Kata Cakra dengan sedikit terkekeh.

"Tai lo.." dengan melakukan servis Abraham hampir mengenai Cakra yang buru-buru menghindari serangan tiba-tiba.

"Yeuu, aneh lo kalo emosi gini."

"Tapi bener deh Ham, lo inget-inget lagi aja, karena perasaan gue Ibu kalo bertindak pasti ada alesan pastinya." Ujar Rafanza lalu kembali mengoper bola pada Abraham yang pikirannya sedikit kosong.

Apa jangan-jangan, pikir Abraham.

Ah, gak mungkin.

*****

Crystal tiba di SMA Gaswara setelah menunggu angkutan kota hampir setengah jam. Alhasil kala ia menginjakan kaki dilorong bel pertanda pelajaran dimulai berbunyi. Menghela nafas lega karena ia tidak telat datang dan akhirnya akan dihukum.

Dipikir-pikir kembali, saat ia di hukum bersama Rafanza kala itu. Mampu menorehkan senyum pada eajah Crystal, entahlah namun mengingat hal-hal kecil mengenai Rafanza sungguh membuatnya senang dan ingin terus mengenang.

Sampai langkah kakinya terhenti. Melihat pada kejauhan disana berdiri sosok si perangai buruk dengan serius bicara dengan sang pemegang masa lalu. Ada kerut kening yang terparti ada senyum yang mulai pudar dan langkah yang mulai melambat.

Rafanza memang mengabrkan Crystal semalam, bahwa ia tidak dapat menjemput sang kasih. Maka Crystal memaklumkan hal itu, karena seriap orang punya urusannya masing-masing. Tapi, saat melihat kedua pasang manusia itu membuat hanya sedikit mencekam. Rasanya ada tangan yang menggenggam hatinya dengan sangat kuat.

Langkah demi langkah, tatapan yang masih saja ada di fokus yang sama juga hati yang tidak lagi terasa. Pikiran jahat telah memasuki hati juga otaknya.

Apa mungkin Rafanza tidak dapat menjemputnya karena Sheila.

Apa mungkin Rafanza sedikit demi sedikit melupakan dirinya karena hari-hari kemarin penuh dengan Sheila.

Apa mungkin rasa yang dulu Rafanza tumbuhkan lada sosok manis itu mulai mekar kembali.

Crystal menggelengkan kepala kuat saat kedua netranya kembali pada situasi yang sama yang ada bertabtakan dengan netra milik Rafanza. Maka lelaki itu tersenyum, alih-alih membalas senyum Crystal memilih untuk berbalik, berlari menuju kelasnya tanpa membalas lambaian juga senyum sang prangai buruk.

Tidak disangka, saat ia memasuki kelas ada dua sosok sahabat si prangai buruk tengah bercengkrama dengan teman-temannya. Ada senyum dan lambai yang kembali diabaikan. Hingga Crystal menjatuhkan kepalanya pada meja.

"Al.. lo kenapa?" Tanya Aneisha dengan sedikit menepuk bahu Crystal yang menggeleng.

Crystal mengangkat kepalanya, mendapati tatapan dari banyak pasang mata. Dimulai dari tiga sahabatnya juga dua lelaki lainnya.

"Gue gak apa-apa, cuma lagi bad mood aja." Crystal berusaha memaksakan senyumnya dan diangguki oleh Aneisha. Sedang Abraham juga Cakra saling bersitatap, karena mereka tahu apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan itu.

"Al.. Al.. nanti kerumah gue aja gimana, nginep gitu. Kan lo udah berhenti kerja di mini market." Ajak Nadira dengan senyum sumringah.

Ah, lupa akan satu fakta. Dimana Crystal memutuskan untuk tidak berkerja pada mini market. Ia sudah berpikir cukup panjang untuk itu dan memutuskan berhenti. Terlalu lelah jika dipikir-pikir. Sudah lebuh dari setahun ia berkerja disana dan rasanya fisiknya mulai tidak berstamina.

"Boleh, mah ngapain aja?" Ujar Crystal yang mulai menyesuaikan suasana hati drngan keadaan sekitar. Takut-takut malah menjadi beban pikiran.

"Kita Netflix and Chill!" Ujar Zanna bersemangat. Lalu dibuahi kekehan dari dua laki-laki yang sejak tadi hanya menjadi saksi percakapan saja.

"Ini beneran Netflix and Chill gak sih, jangan-jangan lorang...." ujar Cakra dengan sedikit terkekeh dan tatapan jahil.

"Apaan sih Cak, jelek pikiran lo." Ujar Nadira yang langsung menghadiahi Cakra sebuah pukulan ringan. Dan tawa menggelegar milik Cakra. Tak terasa mereka lama disana.

"Woi! Cak, Ham, Bu Melly udah jalan buruan ke kelas." Intruspi suara Rafanza tentu bukan hanya mengalihkan atensi dua sahabatnya namun yang lain pula. Termasuk Crystal yang menatap Rafanza, Rafanza yang sadar kan itu hanya tersenyum.

"Nanti pulang sama aku ya Al!" Teriak Rafanza lalu dengan gemas dipukul oleh Cakra kepala si prangai buruk.

Ada Crystal yang tatap kepergian Rafanza tanpa ekspresi lebih.

Sekarang Crystal sedikit takut. Takut berharap lebih. Takut terlalu percaya diri akan satu tali yang terus lilit tanpa henti.

Takut jika akhirnya malah ada sakit yang tidak bisa dihindari.

Lalu ada Zanna yang tatap Abraham yang sedang terkekeh dengan bahagianya bersama kedua sahabat lelaki itu. Zanna menggeleng. Apa yang ia harapkan dari lelaki itu, maka ada Zanna yang memilih teguh pada pendiriannya agar tak goyah.

Terlalu trauma akan hubungan antar dua insan berbeda gender. Yang hanya dapat siratkan luka tanpa ada obat penyembuhnya.





09.19, 24 Januari 2022
See youuuu

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang