42. Still

39 2 0
                                    

Ada Nadira juga Cakra yang tengah tatap langit malam dengan banyak bintang. Dikelilingi dengan hangatnya tawa juga canda banyak insan yang tengah rasakan bahagia. Taman malam itu ramai, sebab malam ini malam minggu. Malam terakhir dalam seminggu yang sering diakhiri dengan isi waktu yang usang tidak berwarna akibat urusan yang tak usai satu-satu.

Entah siapa pencetus malam minggu dijadikan jadwal untuk temu dan saling isi waktu dengan banyak hal dalam satu malam. Seperti malam ini misalnya, ada dua pasang mata yang tatap cakrawala gelap dipenuhi cahaya-cahaya kecil yang bernama bintang. Ada dua tangan yang saling bertaut mencari kenyamanan dari dinginnya malam yang mulai larut dalam suasana.

Nadira menoleh mendapati Cakra yang masih enggan alihkan tatap dari langit, lelaki itu tersenyum lalu bumbui elus ringan pada tangan yang masih setia ia genggam.

Senyum pada wajah sang teruna muncul, dan saat itu pula Nadira tersenyum.

Cakra yang rasakan ada sorot mata terus mengarah padanya pun mengambil segala kesadaran karena terlalu asyik tatap langit yang tidak juga membosankan mau seberapa lama dipandang.

"Kenapa, hm, ngeliatin aku segitunya." Suaranya serak akibat angin malam yang semakin lama makin menusuk.

"Masih gak nyangka aja, aku bisa balik kesini sama kamu." Ada rasa yang membuncah kala mengingat terakhir kali pertemuan mereka ditempat yang sama. Dimana malam itu ada ungkapan candaan perasaan yang sudah sangat valid namun ragu untuk diungkapkan.

"Lo manis, tau gak, hari pertama gue liat lo. Pas lo lagi lari ngejer sahabat lo dan nabrak Pak Johar—"

"—dan akhirnya di hukum. Lo keliatan ngedumel kecil tapi entah kenapa gue rasa saat itu juga. Kalo gue harus tau siapa lo, gue suka liat senyum lo."

Kalimat panjang secercah memori itu muncul. Dan ada cekikikan dari bilah ranum milik Cakra. Dan bukan rahasia lagi, masih, tidak berubah. Senyum milik Nadira memang menjadi hal paling ingin ia lihat. Karena Cakra suka, sangat.

"Kalo gue nembak lo, lo terima gakk?"

Satu kalimat lagi muncul ssbagai pertanyaan yang dianggap hanya candaan. Namun siapa sangka ada antusiasme yang ditunjukan oleh Cakra kala menunggu jawaban. Ada jantung yang berdetak tidak karuan dan mata yang antisipasi pelajari ekspresi sang lawan bicara.

Tidak ada jawaban, sebab ada satu dering telpon yang akhirnya hancurkan europhia yang sudah gigih dibangun sejak awal.

Sang puan yang ditunggu jawaban malah sibuk ada bicara dengan telpon  sebagai penyambung kata. Ada satu hati yang dirasa sedikit lega namun ada rasa yang mengganjal tanpa tahu bagaimana cara selesaikan.

Cakra perhatikan malam itu, Nadira nampak sangat serius dengan dahi berkerut dalam pertanda cakap yang sudah adu otot leher.

And we have to back in this time Cakra, karena yang lalu akan tetap jadi masa lalu, 'Cause now I'm yours and you're mine. It's enough, iya kan?

Nadira pilih genggam tangan Cakra semakin erat dan tidak ingin ia lepas, mencoba ambil kekuatan untuk cerita mengenai apa dan mengapa yang terjadi malam itu. Yang buat Cakra mungkin masih bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi hingga ia pilih pulang cepat-cepat.

"Kamu tau Cak, malam itu juga malam dimana aku hancur tapi gak tau buat minta tolong kesiapa." Nadira mulai masuk dalam waktu masa kini setelah jelajah masa lalu dimana itu jadi titik utama tidak ada lagi sua antar mereka.

"Papa bawa Mama tiri sama anaknya kerumah, aku disuruh buat baik-baik sama mereka. Kamu tau, pas pulang aku langsung lari ke kamar Mama tapi yang aku liat Mama lagi diruang tengah," satu tarik nafas Nadira ambil, buram mulai memenuhi pandangannya akibat air yang sudah mulai terbendung pada kelopak mata.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang