13. His Eyes

103 9 0
                                    

Malam minggu, Crystal akan berada di mini market tempatnya berkerja. Sampai pagi. Garis bawahi, sampai pagi. Kalau para remaja lain menghabiskan malming dengan acara kumpul atau jalan bersama pasangan menghabiskan malam. Berbeda dengan Crystal, mencari uang untuk bertahan hidup adalah prioritasnya.

Crystal terus memperhatikan jari, jam telah menunjukan pukul 01.27. Crystal sama sekali tak mengatuk. Ia telah terbiasa akan hal ini.

Pintu terbuka menandakan seorang pelanggan masuk. Crystal berdiri dan meyapa "Selamat malam, selamat belanja." kepala Crystal mendongak dan mendapati Rafanza disana. Oh, sedikit senyum Crystal tergambar, senang mendapati kedatang lelaki itu.

Rafanza hanya meliriknya sekilas dan langsung berjalan begitu saja. Crystal terus menunggu dan memperhatikan Rafanza. Rafanza datang dengan sebuah botol berisi kopi.

"Rokoknya satu, sama korek." Rafanza menunjuk salah satu merek rokok.

Crystal mengambil rokok dan korek itu. Crystal baru akan men-scan belanjaan Rafanza. Namun, Rafanza lebih dulu menariknya mendekat.

"Ada yang bisa di bantu lagi?" dengan tenang Crystal menanyakan itu.

Rafanza nampak mempelajari setiap inci wajah Crystal. Mata Rafanza yang tajam tak dapat menutupi pesona lelaki itu. Ngomong-ngomong tentang pesona, siapa yang tidak terpesona akan bentuk apik yang diberikan Tuhan pada lelaki itu. Mata tajam, tinggi sepadan, hidung macung juga senyum miring.

Katanya, perempuan akan tertarik pada lelaki yang berpenampilan seperti bad boy, dan beginilah adanya.

"Lo kerja jam segini? Gak salah?"

Crystal tersenyum mendengar itu, "Engga salah, gue harus kerja buat makan." Crystal memulai Men-scan belanjaan Rafanza.

"Orang tua lo?" tanya Rafanza dengan terus memperhatikan gerakan Crystal. Crystal hanya terdiam tak berniat menjawab.

Begini saja perbedaannya, Rafanza walaupun merasa tidak dianggap atau pun diperdulikan dirumah tetep mendapat jatah bulanan dari kedua orang tuanya. Diberi fasilitas cukup. Sekarang apa masalah dari perempuan itu hingga perlu mencari uang untuk makan? Kemana kedua orang tuannya?

Rafanza yang tak mendapat jawaban juga ikut terdiam. Crystal mengatakan berapa jumlah yang harus di bayar oleh Rafanza. Rafanza memberikan sebuah kartu untuk membayar. Setelah selesai Crystal tersenyum.

"Terimakasih telah berkunjung, sampai jumpa," tanpa menatap wajah Rafanza. Ini, inilah yang paling di benci oleh Rafanza. Merasa terabaikan.

Rafanza merampas pelastik itu dengan kuat. Rafanza keluar dari mini market.

Tak lama, Rafanza kembali masuk dan tanpa izin melompati meja kasir. Crystal yang terkejut hanya dapat mengerjapkan mata berulang kali.

Rafanza terduduk dan memejamkan mata. Ingin meresakan ketenangan diri. Ia sama sekali tak ingin pulang ke rumah kali ini. Ia muak.

"Lo gak pulang?" cicit Crystal.

Rafanza mengibaskan tangannya, "Jangan hirauin gue, kerja sana lo." Rafanza masih menutup kedua mata dengan kepala mendongak. Ingin memejamkan mata walau sesaat.

Crystal memperhatikan wajah Rafanza dengan begitu intens. Rafanza membuka mata dan menatap Crystal tajam, "Ngapain lo liatin gue? Gue bukan topeng monyet kali."-jika tidak salah sekarang Rafanza tengah bercanda kan? Maka reaksi yang harus diberikan ialah tawa.

Tawa Crystal pecah, apa-apaan perkataan Rafanza itu. Konyol, sangat konyol. Rafanza yang melihat Crystal tertawa tertegun.

Crystal yang merasa awkward pun menghentikan tawanya. Crystal salah tingkah kali ini, bagai maling yang tertangkap basah. Crystal memutar tubuh, menghindari kontak mata dengan Rafanza. Mata yang terus menerus menghantuinya, sorot mata yang ingin ia tahu lebih dalam.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang