25. Drama

85 4 0
                                    

Dengan kaki bergesek pada tanah Aneisha nampak ragu untuk masuk kedalam rumah. Ragu untuk bertegur sapa, ragu untuk masuk kedalam rumah yang baru ia tempati beberapa bulan. Ia duduk pada bangku halaman depan luas dengan beberapa mobil telah terpakir.

Sedang Aneisha, memilih untuk menaiki angkutan umum dari pada menaiki kendaraan-kendaraan itu. Masih lengkap dengan seragam sekolah yang ia kenakan juga beberapa kotak bekal yang ia bawa tadi kesekolah. Perempuan cerdas dengan wajah tenang itu nampak tergerus dengan pikirannya sendiri.

Ia benci harus berada diantara orang yang masih terasa asing baginya. Ia benci harus berinteraksi dengan orang asing yang ada disana. Aneisha benci dengan takdir yang bahkan menghancurkan hatinya diwaktu yang sangat tepat.

Tapi Aneisha tetaplah Aneisha, seorang Isha yang selalu ada dan tenang dalam kondisi apapun disekitar para sahabatnya. Aneisha bahkan bingung terhadap dirinya sendiri, semua yang ada dalam pikirannya tidak dapat ia tuangkan hanya dapat tersimpan. Hatinya menggebu untuk bicara namun lisannya nampak kaku untuk bersua.

Menghembuskan nafas panjang dengan berat hati pula, Aneisha berjalan masuk kedalam rumah berwarna biru laut itu. Dengan segala keengganan yang terus menggerogoti dirinya. Langkah kecil yang diiringi dengan berat itu nampak kokoh namun berbanding tebalik dengan segala perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.

"Aneisha udah pulang, nak?" Suara itu terdengar tepat saat Aneisha melangkahkan kakinya masuk.

Seorang lelaki paruh baya nampak tersenyum ramah, mau tidak mau Aneisha membalas senyum itu. Tentu saja etika dan sopan santun masih perempuan itu terapkan dalam kondisi apapun.

"Mama kamu udah masak, kamu mau makan siang dulu?" Suara itu nampak sangat hangat namun Aneisha sama sekali belum dapat menerima kehangatan itu.

Dengan senyum kikuk Aneisha sedikit gelagapan, semakin hari pria paruh baya ini semakin gencar untuk mendapati hatinya namun Aneisha terlalu menutup dirinya hanya untuk sekedar menerima.

Berjalan kearah dapur, Anesiha menaruh kotak bekal yang ia bawa. Sedikit menggigit bibir bagian dalam. Bingung untuk menyahuti bagaimana konversasi yang terus dibuat oleh Ayah tirinya.

"Aneisha udah makan tadi om, aku langsung ke kamar aja ya." Sebenarnya Aneisha sadar, panggilan yang terus ia suakan pada lelaki paruh baya itu selalu dapat memancarkan cahaya kecewa dari mata pria yang telah menyadang sebagai Ayah Tiri nya itu.

"Ya sudah, kalau ada perlu apapun itu jangan segan untuk kabari Ayah ya." Aneisha tersenyum akan itu, ia mengerti sangat mengerti, jika Ayah Tirinya itu begitu pengertian, bahkan ia dengan sangat perhatiannya tidak ingin dipanggil dengan sebutan Papa.

Sedikit melirik kearah beberapa figura tepat dihari pernikahan kedua insan yang kembali jatuh cinta untuk kedua kalinya. Aneisha meresa disaat cinta itu tumbuh bahkan bersemi disanalah harus ada cinta lainnya yang mati.

Disana tertera sebuah wajah yang ia sangat kenali sebelum mengetahui jika akan menjadi takdir yang tidak bisa ia nistakan.

Berjalan dengan cukup pelan menyusuri tangga, langkah Aneisha terhenti kala menemua sepasang kaki lainnya. Juga sentuhan kecil pada tangan yang ia sematkan pada railing tangga. Mengangkat wajahnya yang sedari tadi hanya menatap kakinya, perempuan beraut tenang itu sedikit mendengus.

Ia melangkahkan kakinya kekiri untuk menghindar namun lelaki dihadapannya nampaknya tidak membiarkan itu terjadi.

"Apasih lo?! Minggir!" Ujar Aneisha kesal, ia selalu saja meminimalisir komunikasi dengan lelaki yang telah menyandang sebagai saudara tirinya itu.

Lalu Aneisha kembali melajukan kakinya kekanan namun tetap saja lelaki dihadapannya itu mengikuti langkahnya, "Mau lo apa sih Zico?! Minggir ah!"

Lelaki itu nampak tersenyum, kala mendengar perempuan dihadapannya mengucapkan namanya, "Diliat-liat lo suka pura-pura ya."

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang