28. Strong Outside

82 3 0
                                    

Layaknya hari yang tanpa batas, terus menerus berputar dengan poros yang sama. Dan disinilah Zanna tengah terduduk, menggelengkan kepala kuat dengan telinga tertutupi oleh tangan. Ia sama sekali tidak ingin mendengar apapun diluar kamarnya, suara teriakan juga bentakan. Suara Mamanya yang terus memekik kesakitan juga Papanya yang terus menyalahkan. Zanna tidak tahu kapan ini akan berakhir namun yang ia tahu hanya dirinyalah yang dapat melindungi dirinya sendiri. Sendiri.

Suara terakhir yang Zanna dengar adalah teriakan sang Kakak yang mulai melengking dengan suara pintu terbanting. Sekarang semuanya akan makin runyam.

"Pah! Jangan karena semua yang ada disini punya Papah bisa seenaknya sama Mama. Kalo Papah selingkuh oke! Tapi jangan hancurin rumah juga, Papah lupa disini ada anak Papa yang mungkin depresi sama sikap Papah!" Jerit Kakak Perempuan Zanna—Zandy— ia muak dengan Papanya yang begitu otoriter dengan menyalahkan Mama bahkan menyakiti dengan parah hanya karena masalah luar.

"Tau apa kamu! Kuliah saja sana, jangan urusi urusan orang tua!" Teriak Papa—Warnatan—mendengar itu Zandy tertawa.

"Tau apa Papah soal Zandy kuliah! Zandy pake uang sendiri, gak ada yang pake uang Papah dirumah ini!"

Terdengar isakan Mama yang semakin terdengar melihat pertengkaran yang ada dihadapannya, Zanna menggeleng semakin kuat. Ia benci lelaki siapa itu, tidak ada satupun yang akan ia biarkan masuk dalam hidupnya. Patah hati yang paling membekas didalam hatinya ialah kala Sang Papah membawa perempuan selingkuhan yang entah dari mana itu datang kerumah. Dengan tidak malunya. Menghancurkan tiga hati sekaligus. Menghancurkan harapan Mama yang telah ia rangkai kala tua.

"Mama berdiri Ma, kita gak usah ngeladenin orang brengsek kaya gini." Ujar Zandy lalu menuntun Mama—Jelita— untuk berdiri dari duduknya. Dengan wajah memar kemerah akibat tamparan. Dengan rambut berantikan karena jambakan. Dengan hati hancur berantakan.

"Siapa bilang kalian bisa pergi! Brengsek kata kamu! Siapa yang biayain hidup kamu kalo bukan saya!"

Sudah cukup, Zanna lelah mendengar pertengkaran yang mungkin akan terus berlanjut itu. Maka ia menyelinap pada balkon, keluar dari rumah yang semakin sesak akibat teriakan. Rumah Zanna bukanlah rumah mewah bertingkat dua, hanya rumah sederhana namun begitu mapan dalam hal interior. Maka terlihat elagan, dan itu berkat Mamanya yang seorang arsitektur.

Memakai hoodienya hingga menutupi kepala, dengan earphone yang melekat pada telinga. Zanna kembali kabur dari rumah untu beberapa jam kedepan. Setidaknya sampai dirinya tenang untuk kembali masuk kedalam rumah yang nampak berdiri kokoh namun hancur.

Kali ini kaki Zanna menginjakan salah satu mini market teman sebayanya. Sahabatnya. Yang begitu dekat dengannya namun ia sama sekali tidak ingin mengekspos kejadian didalam rumahnya. Maka Zanna memasuki mini market itu.

Disana terdapat Crystal yang tengah mengecek beberapa barang. Lalu mendongak dan mereka melebarkan senyum pada bilah bibir masing-masing.

"Eh, Anna, tumben banget, mau beli apaan?" Tanya Crystal yang mulai mengayunkan tungkainya mendatangi Zanna yang belum bergerak dari posisinya.

"Iya nih, gabut banget dirumah. Jadinya main bentar deh."

"Makan Pop Mie yuk, gue yang bayar."

Zanna tersenyum mendengar itu, "Boleh, gue juga lagi laper nih." Seharusnya membagi cerita dengan sahabat tidak ada salahnya, namun inilah Zanna, masalahnya adalah masalahnya. Itu prinsipnya.

Pintu itu terbuka, Zandy menatap kamar Zanna yang telah kosong. Kamar rapih berwarna dobgker polos, Zandy berjalan kearah meja belajar sang Adik. Disana tergantung beberapa foto kebersamaan Zanna juga ketiga temannya. Bersama Mama juga bersama dirinya. Dan satu figura foto sang Ayah yang tengah tersenyum berdiri tegap bak bahu yang dapat melindungi anak perempuannya. Namun malah menjadi penoreh luka pertama.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang