Betapa terkejutnya Rafanza juga Revanza saat memasuki rumah mendapati Ayah dan Bunda tengah duduk pada ruang tengah. Tetap saja mereka tidak perduli dengan semua, berjalan seperti tidak ada hal lain, mengabaikan seperti biasanya.
"Engga pulang semalaman, kamu bawa kemana adik kamu Rafa?" Tanya Rezal dan Rafanza nampak tak suka dengan perkataan itu. Apa dikira ia membawa adiknya ketempat yang seperti apa?
Mengapa tidak pernah terlintas dalam benak orang tuanya itu tentang perbuatan baik yang mungkin Rafanza lakukan. Ah, Rafanza lupa jika cap prangai buruk sudah sangat melekat pada dirinya. Hingga mungkin pikiran baik tentangnya ada dalam list paling akhir dalam pikiran semua orang.
Apa yang coba kamu pikir Rafa?
Mereka yang beri kamu kepercayaan.
Atau mereka yang hanya tahu kejelekan.
Lelucon.
Haha, untuk apa berpikir layaknya mereka benar ada dan perduli, karena mereka ada hanya untuk menjatuhkan. Sampai kamu bahkan tidak dapat berdiri atau mungkin akan patah sekali lagi.
"Kenapa kalian keliatan perduli sekarang, jadilah diri kalian yang kemarin, jangan menumbuhkan harap yang memang lama udah lenyap." Ujar Rafanza, lalu tanpa pikit panjang mengayunkan langkah tidak ingin bicara lagi dengan kedua orangtuannya.
Apa Ayah tahu apa yang aku rasa Yah?
"Siapa yang perduli, untuk apa juga mengurus anak yang rusak dan tidak bisa dibanggakan sama sekali." Balas Ayah Rezal, tapi tidak ada yang didapatkan, Rafanza seperti tuli tidak merespon sama sekali perkataan Sang Ayah.
Memang salah mengharapkan kata-kata dalam delusi yang ia bayangkan. Bahwa Ayahnya akan memberi kata terbaik yang selalu setiap Ayah berikan pada anak yang memang membanggakan.
"Kami mana pernah minta diperdulikan, kalau Ayah sama Bunda inget." Kali ini Revanza, mendengus dengan wajah datar sekilas menatap sang Bunda yang sekali-kali menatap dengan mata bergetar.
Tidak Reva, kamu tidak perlu bicara. Biar Kakak saja, ada Kakak yang akan angkat suara. Suara yang kamu pendam sejak lama dalam dada.
Setelah Rafanza juga Revanza pergi hingga tidak terlihat, Bunda Cilla nampak menghela nafas lalu menundukan pandangan. Memijat dahi yang terasa pening, ia bingung bagaimana harus bertindak.
Semalaman ia terus berpikir, apa ini sebab dirinya jarang meluangkan waktu ataupun memberikan kasih sayang yang cukup bagi kedua anaknya yang tumbuh menjadi prangai yang sangat jauh dari kata baik.
Dan tentu saja pemikirannya benar adanya, sedari kecil kedua anaknya itu tidak pernah mendapatkan kasih yang seharusnya didapat. Tidak pernah mendapat apresiasi sekecil apapun saat memulai perbuatan baik. Dan tidak tahu sama sekali apa yang telah dilewati oleh kedua anaknya.
Tapi disatu sisi, Bunda Cilla juga bingung bagaimana membangun kemistri yang sudah usang, membangun kembali keluarga hangat tanpa adanya perang dingin yang terus menang. Namun untuk memulai pembicaraan juga menyentuh saja ia ragu, merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bertingkah. Diam dalam kondisi terbelenggu, karena suasana yang memang tidak lagi tabu.
Memasuki ruang pribadi miliknya Rafanza melemparkan kontak motor miliknya pada kasur, menyugarkan rambut kasar. Ikut membantingkan diri pada kasur miliknya, menutup mata dengan segala rasa berkecamuk.
Tanpa pikir panjang Rafanza kembali membangkitkan diri, berjalan kearah salah satu laci dan mengambil salah satu sigaret yang memang sengaja ia simpan. Sudah sangat lama ia tidak menghisap asap nikotin dan ia sedang kalut sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Novela Juvenil"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...