60. Far Away

19 3 0
                                    

Harusnya tidak semua hal bisa diperjuangkan, sebagaimana Zanna yang sudah berada di mobil yang tidak diketahui kemana arahnya. Yang ia ketahui hanya, ia akan pergi meninggalkan segala yang ada dibelakangnya, sahabatnya dan sekolahnya. Jika ditelaah sejak awal kehilangan Mama, Zanna tahu jika hari akan terjadi. Hari dimana menjadi hari yang sudah ditentukan oleh sang Kakak dengan banyak keraguan.

Tangannya ia genggam erat, tangisnya hampir meluncur melihat wajah sang Kakak yang masih terdapat beberapa lebam. Raut wajah lelah dengan tubuh ringkih.

Jalan Zanna hanya satu, mengikuti segala yang sudah disiapkan. Karena dirinya bukan siapa-siapa. Tidak dapat melakukan apapun tanpa sang Kakak. Dan mungkin, keputusan untuk pergi ini menjadi aalah satu hal terpenting untuk kelajutan hidup mereka.

"Ngga tidur, Dek?"

Zanna menggeleng dan membuang wajahnya kearah samping karna air mati yang mulai mengalir.

"Kakak tau, ini tiba-tiba banget, maafin Kakak karena ini kamu ngga bisa pamitan dulu sama temen-temen kamu."

Sekali lagi hanya gelengan yang bisa Zanna berikan akan kata-kata sang Kakak.

Bukan kata maaf atau penyesalan yang ingin Zanna dengar. Tubuhnya ia balikan, memeluk sang Kakak yang balas peluk dirinya dengan amat erat.

"Kakak mau yang terbaik, dari dulu ini jalan terbaik."

Zanna mengangguk, tangisnya masih terus mengalir begitu juga Zandy yang sama sakitnya.

"Aku tau, Kak. Keputusan Kakak pasti yang terbaik buat kita, buat Mama."

Kedua bersaudara itu saling memeluk dengan tangis yang tumpah tanpa henti. Bagai melepas kehidupan yang mereka tinggalkan dibelakang jalan adalah hal yang paling menyedihkan dan tidak akan terlupakan.

"Mulai sekarang, kita bakal hidup semampu kita. Kita, cuma kita."

Hari ini bagai jadi hari berujung buntu bagi Zanna. Tangan yang baru saja hendak ia genggam terpaksa ia hentakan untuk terlepas dengan paksa. Ditampar dengan kenyataan bahwa dirinya merupakan opsi kedua.

Harapan yang ia tanamkan pada bahu yang salah menjadikannya amat tidak percaya dengan eksistensi manusia lainnya yang akan masuk dalam kehidupannya. Tidak, selain Kakaknya.

Lukanya yang memang sudah terus berdarah makin terbuka karena satu belati kecil yang dinamai rasa percaya yang baru tumbuh seonggok telah rapuh dan punah karena terpotong.

Dan, Zanna tidak akan lagi menghadirkan rasa percaya itu kembali.

*****

Langkah pelan Rafanza ia bawa kedalam gedung sekolah yang entah sejak kapan menjadi makin mencekam. Melilit lehernya dan mencekram dadanya. Melihat tatapan orang lain yang terus menatapnya nyalang juga takut.

Tentu saja, sudah sejak lama dirinya menyadari kehadirannya hanya menjadi momok bagi para siswa lainnya. Apalagi, masalah yang ia buat akan hilang bagai tidak terjadinkeesokan harinya. Rafanza tersenyum dalam hati, perangai buruknya tentu jadi salah satu kebencian paling brutal yang harusnya ada pada tatapan mereka. Bukannya ketakutan dan segan.

Melihat lambaian tangan yang mengintrupsi jalannya, Rafanza berjalan menujua dua sekawan yang sudah ada tapat didepan kelas.

"Janganlah, lemes gitu Raf. Biarin dulu Crystal istirahat, lo juga jangan kebanyakan pikiran soal apa-apa dulu."

Ucapan Cakra hanya diangguki dan dibuahi senyum tipis Rafanza.

Tak lama fokus mereka berada pada, Nadira juga Aneisha yang berjalan berdua dengan mulut berdumel entah tentang apa. Keberadaan dua perempuan itu tentu jadi salah satu hal yang ditunggu oleh satu eksistensi lainnya.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang