11. Try

106 8 0
                                    

Hidup kadang seperti daun kering, terbawa bersama angin, terombang-ambing tidak karuan arah. Dan pada akhirnya akan jatuh juga pada tanah, tempat terakhir dimana ia akan ikut lebur dan tidak lagi bisa disatukan.

Bagai hati yang telah patah berkali-kali, maka akhirnya akan hancur juga. Tidak dapat menyatu. Kepercayaan pada orang lain pun telah tidak ada. Teman terdekat atau pun diri sendiri.

Konyol, tapi itulah faktanya.

Mengalami krisis kepercayaan adalah titik akhir dimana manusia merasa tidak dapat meyakinkan diri sendiri akan arti percaya.

Seorang perempuan turun dari sebuah mobil. Sedikit senyum muncul pada bibir manis itu. Terlihat begitu manis hingga sinar bulan yang menawan pun teralihkan.

"Thanks banget ya Kak," ujar perempuan itu yang tak lain adalah Revanza Abilitta. Lelaki yang berada di mobil itu mengangguk dan balas tersenyum.

"Jangan begadang, kesehatan lebih penting, good night Reva," dengan suara berat juga lembut itu, Revanza bagai diajak melayang ke bulan. Lelaki itu melambaikan tangan dan melaju meninggalkan Revanza dengan hati yang berbunga. Senyumnya tak kunjung pudar.

Revanza masuk ke dalam rumah yang selalu nampak sama. Sepi dan terasa seperti tempat asing baginya.

Revanza berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Revanza terus bersenandung dengan riang. Sampai kehadiran seseorang memudarkan senyum Revanza. Wajah datar dan dingin telah terpasang pada wajah cantik Revanza.

Revanza mengabaikan orang itu, hendak memasuki kamar, "Apa begitu cara seorang anak perempuan saat menemui ayahnya," ujar lelaki paruh baya itu. Yang tak lain adalah ayah Rafanza juga Revanza.

Revanza membalikan tubuh dan menatap lelaki yang sedang ada dihadapannya. "Malam Ayah." ujar Revanza lalu kembali memutar badan hendak menarik knop pintu kamarnya.

"Memang, kalian berdua tidak tahu sopan santun. Siapa yang mengajarkan kalian bersikap seperti itu?" ujar Ayah Rezal.

"Jangan bertanya siapa yang mengajari, bahkan anda tak pernah ada waktu untuk memperhatikan kami." suara berat, dingin juga menusuk itu masuk tanpa permisi.

Rafanza berjalan kearah Ayah juga Adiknya. Tak ada raut bersahabat yang nampak dari wajah Rafanza. Tatapan tajam itu dingin tak tersentuh.

"Kenapa tidak seperti biasanya, tidak perduli dengan kami. Bukankah kami hanya pengisi rumah ini, yang tidak pernah kalian perdulikan?" Rafanza kembali berkata dan telah berdiri tepat di sebelah adiknya. Mata Rafanza tak hentinya menyorot pada mata tajam yang mulai sayu itu.

"Bersikaplah seperti biasa, dan jangan sok perduli akan kami," Rafanza sedikit terkekeh dengan perkataannya.

"Ya, kalian juga entah kapan pernah memperdulikan kami," tangan Rezal melayang dan menampar wajah Rafanza kuat. Tidak terima akan mulut sang anak sulung yang begitu menghinannya.

"Ayah menyesal mempunyai anak seperti kalian!" ujar Rezal dengan tegas.

Rafanza tersenyum miring, "Bahkan kami yang tidak beruntung memiliki orang tua seperti kalian!" Rafanza berkata dengan emosi yang membendung. Menahan semua emosi yang ada pada dirinya. Walaupun Rafanza merupakan jagoan diluar rumah, namun, saat ia berhadapan dengan Ayahnya ia hanya dapat menerima kekerasaan itu.

"Rafanza! Jaga bicara kamu!" teriak seorang perempuan paruh baya. Dengan baju formal yang masih melekat pada tubuhnya.

Perempuan itu berjalan dengan angkuh, "Bunda gak tau kalau kalian bisa bertindak sejauh ini, apa sekolah tidak benar dalam mengajarkan sopan santun," ujar perempuan paruh baya itu, Bunda Cilla. Memperlihat segala berkas berisikan masalah juga kebengisaan anak-anaknya. Bahkan ada satu anak yang hampir mati ditangan Rafanza.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang