38. Afraid

46 4 0
                                        

Malam terlihat begitu gelap, tidak ada satu benda langitpun yang muncul memancarkan cahaya yang selalu ditunggu oleh manusia yang merasa lelah akan siangnya. Tidak ada yang bisa kita ketahui memang tentang bagaimana Tuhan ingin menghiasnya. Tapi malam ini tolong, munculkan satu bintang untuk menghiasi langit yang kosong.

Seperti isi kepala juga hati yang lama kosong dan lebih buruknya tidak lagi memiliki warna.

Aneisha, perempuan itu tengah menatap langit yang tenang. Namun tentu tidak dengan perasaannya yang semakin tidak karuan.

Berlubang sudah hatinya karena satu kehilangan, kemudian terisi dengan satu bintang namun dipaksa untuk hilang dalam sekejab mata. Sebenarnya Aneisha tidak masalah akan itu, ia sudah merasa kehilangan yang amat berat dan ia tanggung sendiri. Kehadiran bintang itu sangat mengguncang hatinya, sangat berdampak akan rasa yang mulai hilang dan coba untuk ditumbuhkan kembali.

Dan itu tumbuh, dengan senyum yang sungguh sangat Aneisha harapkan dalam hidupnya. Dunia memang selalu ada untuk mempermainkan ternyata, tidak, Aneisha tidak mengeluh akan itu. Tapi apa bisa jangan matikan segala rasa yang baru saja memenuhi hati dengan garis takdir yang sangat menjengkelkan untuk sekedar disanggupi.

Kepala Aneisha tertunduk bagai mawar yang layu ditengah bebatuan. Kursi yang selalu menjadi tempatnya merenung ditempat uang begitu baru ternyata tidak buruk. Aneisha dapat menghela nafas lelah semaunya, menatap sayu langit bahkan tersenyum getir akibat kenyataan. Tidak buruk, karena ia benci kamar. Kamar terlalu sesak, apalagi ada satu ruang tempat orang yang belum dapat ia hapus. Sulit ya menghapus orang apalagi memori yang memang sudah tertanam menghiasi hari.

Tepukan pada bahu Aneisha dapatkan, ternyata Ayah Tiri tengah tersenyum padanya. Senyum hangat yang lagi-lagi Aneisha abaikan.

"Aneisha masuk yuk, dingin tau disini." Ujar pria paruh baya itu dengan memperagakan dingin, namun Aneisha hanya menggeleng.

"Aku masih mau disini Om, soalnya seneng aja sama udara luar." Dalih gadia itu, padahal hanya satu alasannya. Ia benci berada didalam rumah yang sekarang ia tempati, terasa terlalu asing dengan hati yang berteriak bising.

Senyum itu muncul kembali malah makin lebar, "Kalo gitu Ayah masuk yaa, jangan kelamaan diluar angin malem gak bagus." Setelah itu Ayah Tirinya-Prasastio-itu berbalik.

Belum ada tiga langkah namun langkah itu terhenti dengan tanya yang tersuarakan, "Mama bahagia sama Om, jadi bisa kan aku harap Om gak bakal ninggalin Mama?" Karena Aneisha benci, benci akan perpisahan. Dan tidak ingin sang Mama kembali habiskan malam dengan tangis, tidak ingin Mama kembali bernasib tragis.

"Kamu bisa percaya sama Ayah, bukan cuma Mama, Ayah juga gak bakal ninggalin kamu." Tidak, Aneisha tidak butuh kata itu untuk dirinya. Cukup untuk Mama saja. Karena Aneisha yakin, ia bisa lewati apapun itu dengan langkah kecilnya, keputusan-keputusan kecil yang akan ikut andil.

"Terimakasih Om udah masuk dan bawa kebahagian untuk Mama," ada senyum yang semakin terukir diwajah sang Ayah Tiri. Namun tidak hati yang masih berdarah dan tanpa henti.

Untuk menerima keanggotaan dalam keluarga baru itu saja ia tidak bisa, ah, bukan tidak bisa namun ia tidak ingin. Tidak ingin memggantikan posisi sang Papa yang sudah ia tempatkan diposisi teratas dan tidak ada yang dapat gantikan.

"Tanpa kamu minta, Ayah akan terus bahagiain Mama kamu dan kamu." Kembali lagi gelengan kepala Aneisha bagi.

"Gak perlu aku Om," ujar suara itu tercekat karena hampir saja berujar yang mungkin akan menggerogoti pria baik dihadapannya.

"Karena aku bahagia, disetiap senyum yang ada diwajah Mama." Dewasalah, karena akan ada saatnya dimana dipaksa untuk dewasa dikarenakan kondisi yang tak kalah melelahkan.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang