'New beginning, new step, new certain way to staring at some sort of galaxies, then fall in love with galaxies'
Rafanza Dillon Abhichandra, dilihat dari tampilan luarnya maka hanya satu pandangan yang terlintas. Berandal. Dengan seragam sekolah yang sengaja di keluarkan hingga menampakan kaos berwaran abu-abu yang di kenakannya.
Dengan sepuntung rokok yang masih dengan senang ia hisap. Rambut panjang berantakan. Sepatu putih bertali. Berjalan dengan gaya santai, ia melewati lorong SMA Gaswara.
Diabaikannya semua pandangan takut dan segan di sekitarnya. Walau begitu, masih banyak siswi yang menatapnya dengan memuja ketampanan yang ia miliki.
Jangan tanya berapa musuhnya, mungkin tak terhitung. Bahkan ia tak segan menghabisi orang yang sengaja atau tak sengaja menggangunya. Kejam? Jangan kalian tanyakan.
Jika kalian melihat tatapan elang yang tajam yang di milikinya. Maka sudah dapat dipastikan kalian akan merinding dan berdiri kaku di tempat.
Rafanza, dengan tatapan membunuhnya saja sudah dapat menaklukan segala orang yang sedang berhadapa dengannya.
Rafanza sama sekali tak mempedulikan sekeliling. Apalagi memperdulikan apa yang orang lain katakan tentangnya.
Dengan kedua tangan masuk kedalam saku seragam putih abunya, Rafanza telah sampai pada madding yang telah penuh dengan orang untuk melihat kelas mana kah mereka tahun ini.
Dengan gerakan kasar, Rafanza menggeser setiap orang yang menghalangi dirinya. Salah satu murid laki-laki sudah terjelembam jatuh dengan gampangnya. Semua mata terarah pada hal itu. Kemudian, semua orang mulai menyingkirkan diri mereka melihat siapa pelaku yang menyebabkan hal itu terjadi.
Rafanza berjalan ke depan madding dan melihat dimana kelas membosankan yang akan ia tempati setahun ini.
Setelah menemukan namanya, Rafanza berjalan menjauhi madding. Seperti biasa, semua yang ada di sekelilingnya akan ia abaikan, apa pedulinya.
Tatapan datar itu terus ada pada mata elang nan tajam milik Rafanza. Rafanza melihat beberapa sisiwi yang terlihat tersenyum, mencoba menyebar pesona mereka. Rafanza berdecih melihat itu, jika bisa, ia akan memuntahkan seluruh isi perutnya dihadapan para siswi itu.
Rafanza terus berjalan bagai tak ada orang yang memperhatikannya. Hatinya yang dingin, sikapnya yang kejam, juga wajahnya yang datar menjadi pesona tersendiri bagi seorang Rafanza Dillon Abhichandra.
Rafanza tiba pada kelasnya, tertulis 11 IPA 4, bahkan telah terdengar suara gurauan juga obrolan dari luar kelas itu. Ia berjalan masuk dan mengitari setiap inci kelas dengan mata elang dan tajam itu. Keadaan kelas tiba-tiba berubah menjadi sunyi, tanpa suara sedikitpun.
Pandangan Rafanza tertuju pada dua orang pemuda yang telah tersenyum padanya. Salah satu dari mereka melambaikan tangan dan mengisyaratkannya untuk datang kearah mereka.
Rafanza berjalan kearah bangku paling belakang dimana di situlah ia akan duduki selama setahun. Dua orang pemuda itu duduk tepat didepannya.
Rafanza menaruh tasnya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi keras. Semua orang terjingkat kaget akibat itu. Namun tak satupun dari mereka berani menolehkan kepala.
Dengan gerakan kasar Rafanza menarik kursi dan mendudukinya. Dua orang pemuda di depannya sudah sangat terbiasa dengan sikap pemuda itu.
Rafanza menatap kearah luar jendela. Terlihatlah lapangan besar juga taman kecil. Banyak siswa yang masuk melalui gerbang dengan terburu-buru bahkan berlari.
Rafanza bersedekap dengan kedua tangan berada di depan dada. Ia memainkan kursi dengan membawanya sedikit terayun.
Tiba-tiba seseorang menabrak kursi yang ada di sampingnya. Tatapan elang nan tajam itu memicing. Orang itu terlihat takut juga gelisah melihat siapa orang itu.
"Cabut lo! Kalo bisa jangan sampe gue liat lo hari ini! Kalo engga lo tau sendiri akibatnya!" ujar Rafanza dengan tatapan datar tergambar jelas pada mata elang nan tajam itu. Tatapan itu sudahlah sangat menusuk. Pemuda yang menabrak kursi itu dengan cepat berlari keluar kelas. Tak ingin mencari masalah dengan seorang Rafanza Dillon Abhicandra.
Seluruh penghuni kelas yang tadinya menatap kearah Rafanza ngeri dengan cepat mengalihkan pandangan mereka ketika tatapan menusuk itu mengedarkan pandangan kesegala penjuru kelas.
Rafanza menutup mata dan menghela nafas kecil.
Citra seorang Rafanza Dillon Abhicandra sangatlah buruk. Dari hal kecil sekali pun. Guru sudah tak ada yang berani menegurnya. Tentu saja, Rafanza merupakan anak dari seorang pengusaha kaya juga pemilik salah satu firma hukum terkenal. Banyak pengacara bagus bekerja disana.
Tak ada seorangpun yang berani mendekatinya, walau hanya bertegur sapa. Tak ada yang ingin berteman dengannya. Auranya sangat mendominasi. Berbeda dengan dua orang di depannya yang sedari tadi hanya memperhatikannya.
Kedua lelaki itu hanya mengindikan kedua bahu mereka. Tak ingin repot dengan hal yang telah menjadi hal biasa, mereka sudah sangat terbiasa dengan pemuda yang bernama Rafanza Dillon Abhichandra itu. Sejak dulu.
Bahkan tatapan mengibtimidasi juga mendominasi milik Rafanza sudah tak berpengaruh bagi mereka. Tatapan datar juga mulut pedas pemuda itu sudah menjadi makanan mereka setiap harinya.
Rafanza menatap dua orang yang tengah melihatnya dengan biasa itu.
"Apa?" ujar Rafanza tanpa bersuara. Kedua alisnya telah mebyatu dan mendengus melihat kedua pemuda itu hanya menggelengkan kepala dan menaruh jari telunjuk pada dahi mereka. Apa maksud mereka? Mereka mengatakannya stress? Siap mati berarti jika iya.
Rafanza, telah membangung dinding pembatas yang kokoh dan kuat. Tak ada yang dapat merobohkannya. Rafanza sangat yakin itu.
Hai Readers!
For the first, ini cerita bener-bener dengan tiba-tiba terlintas. So, have fun yaa.
23:59, 22 Agustus 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Novela Juvenil"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...