50. Decision We've Made

36 2 0
                                    

Biasanya jalan yang ditempuh tidak juga jauh, tidak pula ada rasa letih. Iya, sekarang mungkin sosok berperangai buruk bertubuh tinggi dengan segala hal disimpan sendiri tanpa ingin dibagi itu ingin buka mata. Buka mata pula pikiran.

Untuk lihat bahwa semua hal berjalan tanpa kenal dirinya. Semua hal tidak hanya tentang apresiasi juga rasa terabaikan yang terus ada pada dirinya.

Sejak usia dini, segala yang seharusnya ia dapati dari kedua orangtua tidak pula dirasakan. Bukan hanya itu, kadang kala hanya hanya kesalahan sepele maka akan ada amarah yang tersulut pada sosok Ayahnya.

Pikirkan kembali, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orangtua pada anak. Dengan alasan orangtua berhak mendidik anak mereka. Orangtua memiliki hak atas hidup anak mereka. Orangtua dapat melakukan apa saja untuk membenarkan tindakan mereka yang dipandang lazim oleh masyarakat.

Tapi apakah orangtua sadar, jika bukan hanya fisik yang mereka lukai. Bukan hanya pukulan yang mereka berikan. Bukan pula ajaran yang seharusnya mereka ajarkan.

Hanya ada luka psikis, hanya ada anak berusia sembilan tahun dengan luka batin yang amat dalam. Hanya ada nak berusia sembilan tahun dalam diri seorang remaja berusia tujuh belas tahun. Hanya ada seorang anak kecil yang meraung tangisi diri karena tak bisa penuhi ekspektasi.

Hanya ada anak kecil yang akhirnya terjebak dalam setiap tahun tanpa keingin untuk pergi.

Waktu bisa saja berlalu, tahun ke tahun, semakin tinggi, semakin dewasa, semakin perasa. Tapi, anak yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga apalagi tidak dapat sedikitpun apresiasi hanya dapat berdiam dalam diri.

Tunjuk diri, bahwa kamu masih sama.

Sama seperti disaat hancur juga terluka yang tiap hari ditorehkan oleh orangtua.

Kadang kapa memang orangtua lah yang menjadi pematik matinya mimpi seorang anak. Menjadi manusia pertama yang beri rasa benci. Menjadi alasan utama adanya rasa paling ingin dihindari.

Terabaikan.

Ditinggalkan.

Kesepian.

Rafanza berdecak memikirkan masa kecil yang mulai lalu lalang kembali penuhi pikiran.

Dengan tangan genggam posel berisikin pesan dari Umi. Berisikan alamat juga nomer telpon.

Setelah ceritakan segala yang terjadi akhir-akhir ini, kebingungan juga bimbang yang terus penuhi hari. Rasa takut kehilangan. Rasa ingin mencintai namun tidak tahu bagaimana cara mencintai.

Maka Umi bilang, bagaimana kamu bisa mencintai orang lain kalau kamu belum bisa mencintai diri sendiri, kamu bahkan tidak kenal siapa kamu sebenarnya.

Beberapa menit Rafanza terdiam, tidak bicara. Apa yang dikatakan Umi memang benar dan Rafanza bingung harus apa sekarang.

Hari itu Umi sarankan, untuk Rafanza jalani terapi. Iya, terapi. Dengan salah satu Psikolog kenalan Umi.

Apa yang sebenarnya Rafanza ragukan sekarang, tidak ada. Hanya ada rasa ragu, haruskah ia jalani itu semua dengan ceritakan hal pribadi pada orang lain yang akan menjadi dokter psikisnya.

Karena Rafanza tidak dapat seterbuka itu, karena Rafanza tidak ingin buka luka masa lalu, karena Rafanza ingin jalankan hari tanpa ada yang tahu apa yang ada dalam pikiran laki-laki itu.

Kemarin Umi yakinkan Rafanza, setelah lakukan beberapa konsultasi dengan profesional maka akan ada satu rada lega. Dan Rafanza ingin rasakan.

Ada satu langkah yang sudah Rafanza bawa namun terhenti kala sampai didepan pintu. Pintu seorang Psikolog yang akan menjadi tempat bercerita dan cari jalan keluar dari masa lalu.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang