Crystal menampakan muka kurang bersahabat saat ini, keadaan Mini Market terlihat cukup ramai. Namun, suasana buruk terus menghampiri dirinya hingga ia berada dalam mood yang jelek saat ini.
Seseorang menaruh beberapa belanjaan dan dengan cepat Crystal men-scan belanjaan tersebut. "Totalnya 52.800 Kak" ujarnya. Crystal meraih selembar uang kertas berwarana merah itu. Tanpa ingin menatap wajah sang pembeli.
"Lo niat kerja gak sebenernya?" suara itu nampak sangat jelas pada indra pendengaran Crystal. Crystal mendongak dan mendapati Abraham yang berada tepat si hadapannya.
Abraham melirik kearah jam tangan yang melingkar pada lengan kirinya. "Udah jam segini lo masih kerja?" Crystal menjawab itu dengan deheman, memberikan uang kembalian milik Abraham.
"Iyalah kaya yang lo liat," Crystal memberikan kantung plastik berisikan belanjaan Abraham dan kembali men-scan belanjaan milik pelanggan lain.
Abraham tampak tak bergeming di tempatnya. "Terimakasih selamat berbelanja kembali," ujar Crystal dengan senyum tipis melihat kearah perempuan yang telah berusia itu.
Crystal berpaling dan menatap Abraham penuh tanya, "Masih ngapain disini?"
"Satu pertanyaan, lo harus jawab pertanyaan gue ini," dengan tatapan serius Abraham menatap kearah Crystal.
"Emang lagi ujian sampe tanya jawab." Crystal tengah dalam suasana hati buruk saat ini. Namun Abraham memintanya untuk menjawab pertanyaan, yang benar saja.
"Gue serius!" Abraham masih menatap Crystal dengan tatapan serius, bagai hal yang ingin ditanyakan sangat penting.
"Ya udah apaan, buruan lagi bad mood gue." Crystal menyerah dan membiarkan Abraham bertanya padanya. Memuaskan rasa penasaran Abraham dengan pertanyaannya.
"Hubungan lo sama Rafa, apa hubungan lo sama dia?" Crystal mendongak dan menggelang.
"Mungkin semacam musuh atau target baru," dengan ringan Crystal mengatakan itu. Ia pun tidak tahu apa sebenarnya benang yang mengikatnya dengan Rafanza hingga sekarang semakin kuat rasanya benang itu melilit, menyambung sebagai masalah.
"Lo harusnya gak main-main sama Rafa, ngapain lo deketin dia?" Abraham kali ini telah melewati batas, bukankah ia bilang satu pertanyaan. That's anough, not more.
Crystal menatap Abraham malas, "Kesempatan lo nanya cuma satu dan lo udah nanya. So, udah kan?"
"Gue peringatin, Rafanza gak pernah main-main sama kata-kata dia, bukan berarti lo pernah di anter-jemput itu lo masuk cerita romance, lo salah." Abraham berjalan keluar mini market meninggalkan Crystal yang mencebikan bibirnya.
"Siapa bilang gue di cerita romance, gue di cerita psycopath kali." Crystal bergumam dan mendapati seseorang tengah menunggunya untuk men-scan belanjaannya.
"Oh maaf, ini saja Kak?" Crystal mencoba ramah. Setelah iti ia seleaai dan berganti sift dengan salah satu pegawai mini market.
Jam menunjukan pukul 10.46 belum terlalu malam. Crystal mendengarkan musik melalui earphone-nya dan bersenandung selama diperjalanan.
Sebuah motor dengan tiba-tiba berhenti tepat disampingnya. Crystal yang terkejut menatap motor itu dengan tatapan cengo atau bahkan terlihat bodoh saat ini.
"Naik!" titah lelaki itu, Crystal masih belum tersadar dan terus menatap lelaki yang bernama Rafanza itu.
"Gue bilang naik, bersihin deh telinga lo!"
"Lo ngapain kesini?" hanya itu perkataan yang dapat Crystal katakan.
"Gue bilang naik bukan nanya!" geraman Rafanza terdengar jelas. Crystal dengan sigap membggapai pundak Rafanza untuk bertumpu dan menaiki motor dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...