17. Visiting

97 4 0
                                    

Hujan turun dengan derasnya, membasahi apapun yang dapat dijangkau hingga akar pohon yang membutuhkan air. Hujan kadang mengingatkan kita pada air mata, dimana saat tidak dapat terbendung lagi akan luruh, jatuh.

Tidak jarang juga hujan jatuh mendatangkan kilatan petir juga guntur yang menakutkan, mengingatkan bahwa tidak semua hujan membawa pelangi. Tidak semua hal akan menjadi baik, tidak semua hal akan berakhir berwarna. Awan gelap mungkin akan menggenangi semua rasa bahagia.

Sama halnya seperti Crystal kali ini, hujan dimalam hari, disertai petir juga guntur. Gelisah, Crystal tidak nyaman dengan hal ini. Mengingatkan malam dimana Crystal kecil dengan darah mengalir, menjulurkan tangan agar dapat meraih telapak tangan lainnya.

Posisi tidur meringkuk, memeluk kedua kaki dengan tubuh gemetar. Crystal tidak faboia akan guntur ataupun petir sebenarnya. Tapi kala malam ia hanya dapat melafalkan do'a. Agar terus dilindungi. Takut akan kejadian yang terus terikat pada pikirannya.

Suara rintik hujan sudah mereda, kilapan cahaya terang juga telah berhenti. Perlahan Crystal dapat menenangkan diri, menarik oksigen dengan rakus agar masuk pada paru-parunya. Tidak dapat dipungkiri, ia trauma.

****

Dengan nampan penuh Crystal berjalan ditengah kantin yang sedang ramai-ramainya. Membawa dua mangkuk mie dengan es teh. Berjalan menuju meja terlarang yang telah di isi oleh ketiga manusia penguasa.

Dimeja sana juga telah terduduk Zanna juga Nadira, Aneisha telah pergi ke laboratorium untuk mempersiapkan olimpiade yang akan datang. Zanna dan Dira tidak dapat melakukan apapun, Zanna ditahan oleh Abraham sedang Dira tertahan dengan Cakra. Cocok, tidak bisa berkutik.

Tatapan mata Rafanza terus saja kearah Crystal yang telah duduk disampingnya, Crystal kikuk, ditatap sebegitu intens nya oleh Rafanza. "Kalo diliat-liat lo cantik juga."

Disaat itu juga Crystal makin kikuk, jantungnya bergetar sampai kehatinya. Crystal bingung sekarang. Disatu sisi lelaki yang duduk tepat disebelahnya ini memiliki hati bak batu, susah untuk dipecahkan. Disisi lain perasaannya kian tumbuh hanya dengan perhatian kecil yang lelaki itu berikan.

"Tapi sayang, cocok jadi babu," tertohok, tentu saja perkataan itu bagai membunuh mawar yang baru akan hidup diantara batu.

Crystal masih saja terdiam saat Ranfanza mulai menyuapkan mie yang baru saja dibeli. Sampai Zanna menggengam telapak tangannya disertai senyum. Crystal tidak tahu bagaimana cara mengendalikan perasaan yang baru kini ia rasakan. Tidak ada pengalaman akan ini.

Rafanza yang melihat itu terhenti dari kegiatan makannya. Mengalihkan diri hingga berhadapan dengan Crystal yang terus menatap kearah mangkuk berisi mie itu. "Kok lo harus cape-cape kerja, padahal kalo jual diri bisa lebih untung."

Oh yang benar saja, mulut Rafanza seharusnya tidak diciptakan. Tapi mengapa Tuhan malah menciptakan sosok lelaki itu dengan amat sempurna.

Crystal menaruh sendok yang digenggamnya bersiap akan pergi.

"Crystal Brisena Rhakshan, babunya Rafanza Dillon Abichandra. Apa lagi tersinggung sekarang?" Dengan tawa kecil Rafanza berbicara.

"Bawa mangkoknya kalo mau pergi," Rafanza berdiri dengan mengangkat mangkuk mie yang masih utuh isinya.

Menyiramkannya tepat diatas kepala Crystal hingga mengenai keseluruh seragam yang sedang perempuan itu kenakan. Crystal menatap mata Rafanza dengan mata berkaca, sampai sejauh mana Rafanza akan memperlakukannya, mempermalukannya.

Zanna membanting sendoknya lalu hendak berdiri, tapi bahunya terlebih dulu ditahan oleh Abraham dengan tatapan agar ia tetap duduk. Zanna mendengus lalu menatap Rafanza dengan tatapan yang sepenuhnya tidak suka. Sedangkan Nadira hanya dapat terdiam, kaku, jika sudah bersebelahan dengan Cakra ia membatu.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang