Ada begitu banyak pikiran-pikiran juga pertanyaan dalam kepala Revanza. Seharusnya dalam menyuarakan tanya tidak terlalu sulit dilakukan. Bingung dalam bertingkah kala berhadapan dengan Rai yang beberapa minggu ini tidak sedikit memiliki perubahan yang signifikan. Mungkin seharusnya Revanza harus lebih berani dalam hal bicara, walau hanya pertanyaan-pertanyaan kecil yang terus tertumpuk dalam benaknya.
Melihat Rai yang masih saja terfokus pada layar tipis dihadapannya tak ayal membuat Revanza sedikit menghela nafas. Sebenarnya apa eksistensinya disana diperlukan atau tidak.
Entah ia yang tidak memiliki keberanian yang cukup dalam berbagi kata atau lelaki dengan segala rahasia disampingnya yang ternyata hanya pembohong ulung yang terus berkata semuanya baik-baik saja. Kata baik-baik saja tak lantas memiliki arti yang sebenarnya, mungkin sekarang lelaki itu nampak baik namun dalam sekian detik yang akan datang apa akan sama pula.
"Kak, kamu gak ada yang mau diceritain sama aku, tah?" Lihat, apa yang tersua pada lisan Revanza. Ternyata presensi yang harusnya ia tanyakan hanya dapat ia pendam, walau sesak terasa hingga mendalam.
Katakanlah Revanza terlalu takut, terlalu takut melangkah hingga pada akhirnya merasa kehilangan. Klasik ya, tapi Revanza benar-benar takut, pertemuannya dengan Rai cukup baik hingga akhirnya terjalin asa yang apik.
Sejenak Rai menoleh lalu kembali mengarahkan fokusnya pada layar yang sejak tadi menjadi tetek bengek keterdiaman, "Engga ada Reva, aku cuma sedikit banyak yang harus diurus aja."
Alih-alih menyudahi segala dengan berpura-pura mengerti, Revanza lebih memilih kembali mengajukan tanya.
"Terus yang lagi Kakak cari tau tentang apa?" Revanza mungkin jelek dalam hal etika namun dalam hal privasi akan menjadi hal terpenting. Namun untuk hal ini Revanza bahkan tidak mengerti mengapa kedua bilah bibirnya dapat berujar dengan lancang tentang itu.
"Ini tentang aku dan kamu gak perlu tau," Rai berujar tanpa memutus fokusnya, tidak mengetahui ekpresi apa yang ditampilkan pada wajah gadis yang ada tepat disebelahnya.
Kecewa, tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan raut wajah juga pancaran mata Revanza saat ini. Kecuali kata itu.
'Kamu gak perlu tau' kata itu sungguh menusuk jantungnya, Revanza tahu dan sadar bahwasanya ia tidak lebih dari orang asing dalam hidup Rai namun tetap saja perasaannya tidak dapat dibohongi.
"Jadi sebenernya aku Kakak anggep apa?" Pertanyaan itu terdengar lirih ditemani rasa sesak yang memang sedari beberapa minggu belakang mulai menggunung.
"Cewek yang bisa nemenin Kakak kapan aja?"
"Atau cuma sebatas temen yang Kakak rasa jadi tanggung jawab?"
Sebelum menyuarakan tanya terakhir kedua sudut bibir Revanza terangkat. Jika dilihat hanya dari bibir saja akan dapat diartikan senyum namun pada mata tidak. Mata itu tidak lagi berbinar juga bersinar ceria dengan lekuangan berbentuk bulan sabit.
"Apa Kakak cuma kasian aja sama aku?" Pertanyaan yang paling Revanza benci, ia benci mendapati empati dengan kata kasihan.
"Revaa.. bukan gitu maksud aku." Rai mulai sedikit tersentak kala menatap Revanza yang hampir saja meluruhkan air matanya.
"Terus apa Kak! Aku cuma mau dengerin keluh kesah kakak doang, aku ada disebelah kakak sekarang tapi aku ngerasa malah kaya kakak gak ada disini sama aku!"
"Revanza, tapi ini bener-bener harus aku selesain dan perlu banyak waktu yang harus aku kasih, karena ini penting." Rai yang masih belum menyadari bahwa ada beberapa kata yang telah menyakiti hati Revanza.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...