Kalau dapat dilihat seharusnya pagi ini ia tengah berjalan menuju rumah, namun Crystal melangkahkan kakinya kearah taman kanak-kanak yang ada didekat rumahnya. Tempatnya menimba ilmu dan belajar mengenal alfabet juga angka. Klasik mungkin, tapi melihat kembali TK yang telah menjadi saksi bisu kebahagiannya saat kecil itu sedikit meredam rindu akan kedua orang tuanya.
Crystal duduk pada salah satu ayunan dan menggerakannya kecil. Mengingat disaat itu, saat ia kecil, ayahnya mendorong ayunan agar ia dapat berayun kuat dengan gelak tawa yang tidak juga meredam. Sedang Bunda hanya tersenyum dan sekali-kali mengambil gambar, tersimpan dalam sebuah figura.
Ayah selalu menyempatkan diri untuk menjemput Crystal kecil dan sengaja mengajak ia dan sang Bunda untuk berkeliling. Dan mampir pada salah satu tempat makan favorit mereka. Ah, Crystal rindu dengan masakan Pakde Zaman. kwitiauw juga mie tek-tek kuahnya.
Menutup matanya Crystal merasakan angin pagi menerpa wajahnya, perempuan itu tersenyum kala mengingat segala macam memori tentang Ayah juga Bunda. Tak terasa seseorang memasangkan jaket pada tubuhnya, Crystal membuka mata dan mendapati Rafanza disana.
Seriously, this early morning?
"Ini udah gak pagi, jam delapan." Ujar Rafanza dengan sedikit menggerutu, terlihat kacau dipagi hari.
"Dukun lo?" Tanya Crystal dengan ragu, ia bahkan tidak mengatakan apapun namun lelaki perangai buruk itu bagai dapat menebak pikirannya.
"Keliatan dari mata lo." Rafanza mengalihkan pandangnya kala Crystal tersenyum dengan mata yang masih lurus menatapnya.
"Udah gak benci mata gue lagi?" Sedikit demi sedikit, Crystal ingin membuka, apa dan mengapa Rafanza begitu tidak menyukai matanya.
Rafanza menoleh lalu tersenyum miring, "Emang mata lo aja yang ngeselin," jawab Rafanza dengan sedikit mendengus.
"What's the reason?"
Rafanza menatap perempuan yangvada dijarak tak terlalu jauh darinya. Perempuan yang selama ini menjadi tameng agar tidak kembali lada masa lalu. Mata dengan sorot tenang namun tak sarat akan sepi itu begitu menusuknya.
Bagai terbius akan tatapan yang tengah yang ia selami. Sebenarnya ada satu alasan Rafanza menjadikan Crystal sebagai tameng saja. Namun untuk masuk kedalam labirin mata yang tidak ia temui jalan keluarnya. Tersesat, untuk mencari tahu apa yang telah dilalui perempuan yang nampak begitu kuat itu.
"Nope, gak ada alesan gue cuma gak suka ada orang yang berani lawan gue."
"Kenapa?"
"Banyak tanya."
Crystal menundukan kepalanya, momen seperti ini mungkin memang jarang ia dapati. Tapi berada didekat Rafanza selalu dapat menenangkan hatinya. Rafanza yang terlihat begitu hangat.
"Sekarang udah jarang bully orang, semoga kedepannya lebih baik ya." Crystal lagi-lagi tersenyum dengan mata bening yang berbinar menyapa kedua mata Rafanza yang tiba-tiba membeku.
Rafanza sedikit terkekeh, "Dampak dari lo kali." Tidak terduga, kata-kata Rafanza tentu terucap karena terbawa suasana. Bisa dibilang keceplosan.
Jika kita tarik kebelakang sekali lagi, kala Rafanza meyiram semangkuk mie pada Crystal. Tatapan sedih juga kecewa itu sungguh mengusiknya. Ia pun tidak tau mengapa, rasa bersalah terus terbendung didalam hatinya, bagai tidak ingin pergi.
"Dari gue apa Sheila, karena sedateng dia ke sekolah lo jarang bully orang."
"Dia udah jadi list orang yang gak bakal gue masukin dalem cerita gue sekarang." That's enough, Rafanza berdiri lalu menatap Crystal.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Dla nastolatków"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...