52. That Night

31 3 0
                                    

Hari ini jadwal harian Rafanza menemui psikiter yang menjadi Dokter kesehatan mental yang menjadi tempat tempat berceritanya akhir-akhir ini. Bahkan untuk beberapa hal yang sering ia tanyakan untuk sekedar saran dan perbuatan yang harusnya ia lakukan.

Akhir-akhir ini Rafanza lebih mudah untuk mengendalikan emosi juga beberapa perasaan yang memang harus diatur sedemikian rupa.

Kemarin Rafanza tanyakan pada Psikiaternya bagaimana untuk menghadapi seseorang yang sedang menjaga jarak, dirinya sangat ingin mendekat, ingin tanyakan apa alasan orang itu jauhi dirinya.

Namun, Psikiater jawab "Dia punya alesan mungkin buat sekarang belum bisa buka itu sama kamu, kita gak bisa baca pikiran orang. Pasti ada alasan pasti, dan kamu harus tunggu jangan terlalu mendesak nanti dengan sendirinya semua akan selesai. Believe in your path, if she is the person who meant to be with you, she will back whatever is going,"

"Sama kaya kamu yang selalu punya alasan setiap buat keputusan, maybe the decision that she made is the hard choice that she do."

Saran yang diberikan oleh psikiaternya adalah ia harus beri sedikit waktu hingga waktu pula yang mengikis segala jarak walau nanti terasa semakin jauh pula nanti pasti akan ada satu pintu yang bawa pulang kembali.

Kali ini Rafanza datang kembali sebagai jadwal temu dengan psikolognya itu. Butuh waktu sekitar dua minggu ini untuk sedikit ada rasa nyaman untuk saling bagi cerita walau canggung juga masih sering terasa.

"Kali ini kita coba sedikit terapi ya, nanti kalau misal bisa ada sedikit gangguan bisa langsung berhentiin ya." Ujar Psikolog yang mungkin jika dilihat dari usia tidak jauh beda dengan Bunda.

Rafanza hanya mengangguk sedikit dan dengan telinga dengar segala intruksi yang diberikan oleh psikolognya.

Psikolog itu berikan ujung tali pada Rafanza dan ujung tali lainnya dipegang oleh sang psikolog. Pada tengah tali itu ada sebuah cincin yang diikatkan.

Pada ujung yang ada pada genggaman sang psikolog ditarik perlahan dan Rafanza yang sedikit bingung hanya biarkan tali itu ditarik begitu saja malah tanpa ada gerakan untuk coba tarik kembali.

Psikolog itu tersenyum, "Coba sekarang kamu tutup mata, kamu coba bayangkan tali ini sesuatu hal yang amat ingin kamu jaga."

Rafanza sedikit terkejut mendengar itu lalu ia tutup kedua kelopak mata miliknya. Dan satu wajah yang sudah ada dalam bayangan dikepalanya.

Revanza.

Karena sang adik adalah segalanya baginya. Revanza adalah tanggung jawab yang tanpa diamanatkan sudah ia lakukan karena itulah tugasnya.

"Setiap tarikan yang saya lakukan itu kamu artikan sendiri apa kamu akan lepas begitu saja, atau kamu berusaha untuk tarik."

"Saya tarik ya, kali ini kamu bayangkan dia lagi nangis sendirian dan semakin kamu mendekat semakin jauh dia."

Tarik yang diambil oleh psikiater itu langsung tertahan dengan tenaga milik Rafanza yang balas menarik ujung tali lainnya.

"Sekarang kamu rasakan, apa yang ingin kamu lakukan sekarang."

Tarikan Rafanza semakin kuat, gelisah, bayangan dimana Revanza menangis seorang diri begitu mengusiknya.

"Dek.. Kakak disini ya, kamu jangan nangis ada Kakak. Dek.. Kakak mau peluk kamu."

Tarikan kembali diambil oleh sang psikiater namun Rafanza tidak berikan itu dengan mudah.

Rafanza sungguh tidak dapat melihat sang Adik menangis, ia sangat lemah akan satu alasan itu. Tidak ada yang dapat menyakiti  adiknya karena harus kebahagiaan lah yang menjadi hal yang dirasakan oleh adiknya itu. Selalu bahkan jika bisa selamanya Rafanza ingin terus berikan kebahagian itu.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang