33. Appreciate

65 5 0
                                        

Dengan tangan menengadah pada cahaya yang mulai terasa menyengat diakibatkan matahari sore, Zanna nampak dengan sengaja memasang tubuh dibawah sinar matahari itu. Merasakan terik senja yang mulai menampakan diri dengan indahnya.

Katanya matahari tenggelam merupakan suatu yang indah, karena disetiap perpisahan pasti akan baik dan indah pula. Tapi apa mereka tahu diantara banyak benda langit ada bulan yang membutuhkan cahaya sang matahari untuk berbinar. Redup memang, tapi cahaya malam yang diangkat oleh bulan tak kalah menenangkan.

Dengan sedikit menengadah Zanna melihat sosok Ayah baginya telah pulang, membawa seorang wanita muda yang nampak tidak tahu diri. Mereka terlihat tertawa bersama dan Zanna benci melihat tawa itu.

Masuk kedalam kamar Zanna lamgsung saja kearah dapur mengambil cangkir berisi kopi yang dibuatkan oleh Mamanya pagi tadi namun tidak tersentuh oleh Papanya.

Berjalan dengan tegas hingga melihat kedua pasang yang tidak memiliki muka lagi itu, Zanna berjalan dan menabrakan diri. Segelas kopi itu nampak mengenai seluruh pakaian sang wanita simpanan dan juga sang Papa yang nampak membelalakan mata.

Hendak menarik lengan Zanna untuk dimarahi namun kalah cepat dengan pergerakan Zanna yang langsung mengayunkan kembali kakinya, menutup pintu dengan keras mengakibatkan duara yang amat kuat lalu berlari tidak tahu arah. Kemana lagi ia akan berlari kali ini, sampai kapan ia harus berlari dari rumah.

Bahkan kesialan kembali berlanjut dengan menabrak bahu seseorang, "Maaf..." ujar Zanna dan ingin langsung berjalan begitu saja namun tertahan.

"Saya udah minta ma..." perkataan itu tergantung kala melihat siapa orang yang ada dihadapannya.

Zanna berdecak, kenapa takdir malah terus-menerus mempertemukan Zanna dengan lelaki itu kala kacau. Menghentakan lengannya Zanna langsung kembali berbalik namun Abraham malah berdiri tepat dihadapannya.

"Apa sih Abraham, mau apa?" Ujar Zanna kesal, moodnya sudah hancur dan sekarang malah datang lagi orang yang beberapa minggu ini sangat tidak ingin Zanna temui.

"Lo keliatan kacau gini." Perkataan Abraham di ikuti dengan tatapan pada pakaian Zanna yang terdapat bercak-bercak coklat. Dengan wajah lusuh dan kesal pula.

"Ya udah sih, gak usah perduliin gue." Zanna memang sangat keras kepala apalagu jika sedang dalam suasana hati yang buruk dan ia benci dirinya yang sekarang. Karena ia akan masuk dalam karakter yang tidak ia kenali.

"Gue gak bisa biarin lo sendiri kek gini Zan, apalagi sekarang lo lagi emosional gini."

Zanna memutarkan kedua bola matanya malas. Tahu apa lelaki itu tentang dirinya. Siapa dia yang sok bisa membaca pikiran juga raut wajahnya.

"Gue bisa jaga diri gue sendiri, elah, ribet hidup lo." Kembali melangkahkan kakinya dengan Abraham yang terus mengikutinya Zanna menghentikan langkahnya lalu kembali berbalik, menatap lelaki yang entah sejak kapan masuk dalam hidupnya. Dengan pertemuan-pertemuan yang tidak jarang menghayutkan.

"Gak bisa Zan,"

"Lo apaan sih, ini hidup gue kali, gue tau harus gimana. Gak usah ikut campur dan sok perduli sama gue."

"Gue perduli Zan, gue tau lo butuh pundak sekarang dan gue ada."

"Bacot mulut lo." Zanna sudah tidak termakan bualan lelaki sekarang. Krisis kepercayaan Zanna pada lelaki sudah tinggi, karena luka yang tertanam oleh Ayahnya sendiri.

Lalu dengan cepat Abraham berjalan mendekati Zanna dan merengkuh tubuh perempuan dihadapannya, "Ada gue, lo bisa andelin gue Zan. Jangan hadapin sendiri."

Merasakan kehangatan yang sudah lama tidak ia dapati itu Zanna terdiam, merasakan usapan lembut pada rambutnya, pada bahunya dan seketika Zanna menutup matanya. Mengalirkan air mata yang sudah lama tertahan hingga mengalir dengan deras, pula pelukan yang semakin erat.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang