Tak amuh juga jam terus berdenting, detik ke detik, menit ke menit. Namun berbeda dengan hal nya Crystal yang hanya ada pada satu waktu. Saat tadi berada di mobil milik si prangai buruk. Rafanza yang tidak mengatakan apapun pula Crystal yang diberikan tempat duduk dibelakang, tidak seperti biasanya. Kursi penumpang tepat disebelah kemudi sudah terisi oleh Sheila, Crystal bingung tentu saja.
Tapi apa? Crystal hanya dapat diam dan memperhatikan segala suasanya juga emosi yang ada. Tidak ada kata yang dapat diangkat sebagai topik dalam perjalan. Crystal hanya dapat tebak-tebak isi hati Rafanza, tebak-tebak mata yang masih sama tidak jelaskan apa-apa.
Sampai akhirnya Crystal tidak menemukan jawaban dalam perang pikiran. Niat hati ingin tanyakan Revanza tentang perubahan si prangai buruk, tapi urung. Tidak ingin ada orang lain yang ikut campur tangan dalam hal hubungan. Yang bahkan tidak dideklarasikan dalam bentuk status yang pasti.
"Woi! Ngelamun aja lo." Terperanjat Crystal sebab satu suara, didapati disana Rai yang tengah bawa senyum tipis juga kerutan dalam pada dahi.
Hanya ada senyum kecil yang Crystal coba sapa balik senyum yang sedari tadi tidak lepas, "Udah lama banget gak kesini."
Basa-basi, sebenarnya Crystal benci dengan basa-basi atau sejenisnya. Ia coba, karena tidak ingin ada hal yang ia pikitkan malah tersambung. Karena, Crystal cukup sadar bahwa Rai adalah orang yang cukup peka akan keadaan.
"Ada masalah dikit, gue juga lagi coba selesain satu-satu." Ucapan Rai kini mendapat tatapan aneh dari Crystal.
"Itu mah gak dikit ogeb, aneh deh omongan lo," Crystal terkekeh kecil, sedikit pikirannya tentang Rafanza agak terangkat dengan cakap-cakap kecil dengan Rai. Ntahlah, Crystal pun tidak mengerti mengapa.
"Kalo ada masalah itu jangan coba selesain sendiri, lo butuh pendapat orang sebenernya. Tapi kadang gak semua orang ngerti apa yang lo butuhin sebagai pertolongan,"
"Yang penting lo jangan sampe kehilangan satu uluran tangan karena lo coba buat selesain sendiri masalah lo. Karena gak semua orang bisa tahan sama rasa diabaikan." Konteksnya cukup jelas sebenarnya, Crystal dapat berikan saran itu juga karena ia sadar segalanya perlu bicara.
Tapi sama halnya seperti yang lainnya, Crystal juga hanya dapat menungu untuk diajak bicara. Untuk diajak masuk dalam suatu kesedihan. Tapi nanti ada saatnya mungkin segalanya dapat jelas terlihat, kala mendung telah jelas ditengah terik, kala hujan mulai menampakan diri.
Dan disisi lain ada Rai yang merutuki segala hal yang akhirnya baru ia sesali. Belum saja ia mencapai puncak namun ternyata ada satu bukit lagi yang harus didaki.
"Bodohnya, gue udah kehilangan satu uluran tangan yang udah jelas gue liat." Crystal menoleh kala Rai menyelesaikan kalimatnya, menatap senyum miring dipenuhi sedih.
"Tapi gak pernah gue raih, sampe tangan itu ditarik lagi. Sampe-sampe sekarang gue bingung gimana yang harus gue lakuin." Lanjut Rai dengan mata yang sudah amat terpancar sendu.
"Bicara, semuanya bisa selesai kalo ada salah paham ya komunikasi Rai. Jangan sampe rasa sesel lo makin dalem karena semakin telat mikir buat apa yang harus lo lakui." Melihat Rai yang tidak pernah ia lihat sebelum membuat ada rasa getir didalam dirinya. Bagai ikut merasakan rasa sesal yang mulai terjalar hingga ke hati.
"Tapi.. gue rasa ini belum saatnya."
Crystal makin saja terlarut dalam lingkar emosi yang dibagi teruna disebelahnya, sekarang bercampur kesal malah, belum saatnya, katanya, "Terus kapan? Sampe dia bener-bener gak bisa lo gapai lagi?"
Ada dua pasang mata yang bertabrakan, ada dua hati yang sama-sama rasa hal yang sama. Dan anehnya, Crystal sangat dapat merasa apa yang dirasakan lelaki dihadapannya ini. Sangat jelas, semakin terasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...