Revanza memasuki rumah yang nampak sangat sepi itu dengan langkah pelan. Apa mungkin orang-orang yang ada disana sudah terlelap dan sudah meredupkan setiap pencahayaan dalam rumah. Setelah itu lampu mulai hidup menjadi salah satu penerangan, mata Revanza mengelilingi rumah yang terlihat rapi dan terawat itu dengan lama.
"Gak ada siapa-siapa disini Reva, gak usah ngendap-ngendap gitu." Sedikit terkejut Revanza menatap Crystal yang tersenyum lalu berjalan menuju dapur.
"Kakak tinggal sendiri sejak kapan?" Tanya Revanza dengan mengikuti langkah Crystal.
"Umur sembilan tahun," Revanza tentu membelalakan matanya mendengar penuturan perempuan dihadapannya.
"Orang tua aku meninggal di umur aku sembilan tahun Reva, dari saat itu aku tinggal sendiri."
Jadi, itulah mengapa Crystal berkerja siang malam dalam menghidupi diri sendiri. Agak terlihat berelebihan, namun itu memanglah faktanya.
"Memang gak ada kakek-nenek Kak atau keluarga lain gitu?"
Crystal menggeleng, "Dari aku kecil yang aku kenal cuma ada Ayah sama Bunda, gak ada anggota keluarga lain yang aku kenal."
Kembali lagi, memang itulah yang diketahui oleh gadis mandiri yang tengah berdiri dengan tatapan melayang. Tidak pernah terlihat anggota keluarga lainnya yang dapat Crystal kenali. Bahkan Kakek ataupun Nenek, kedua orangtua nya tidaj pernah bicara dengan membawa nama anggota keluarga lainnya.
Dan setelah mengucapkan itu Crystal beranjak dengan sebuah mangkuk berisi irisan buah, "Mau makan buah dulu sebelum tidur?"
Revanza mengangguk mengerti bahwa arah pembicaraan mereka semakin sensitif. Dan Revanza tahu harus dihentikan sampai disana saja, tidak perlu banyak bertanya.
"Wah... wangi jeruk kamarnya Kak," baru saja berdiri dipintu harum perisa jeruk langsung memanjakan hidung Revanza.
"Iya, suka aja sama wangi jeruk kaya seger aja."
Revanza berjalan kearah balkon kamar milik Crystal dan menatap bulan. Bulan yang selalu bersanding dengan bintang, sebagai penerang gelap malam yang kadang terasa amat menyeramkan.
"Kak, beberapa hari ini Kak Rai sering anter jemput aku, tapi tetep aja kerasa beda." Entah mengapa Revanza memulai ceritanya itu, mungkin karena sesama perempuan dan dapat saling mengerti dengan intuisi.
"Beda gimana?" Sebenarnya Crystal sama sekali tidak melihat perbedaan dari sosok Rai yang setiap harinya ia temui di Cafe.
"Dia sedikit sibuk sama suatu hal, bukan maksud aku ngekang dia tapi memang berubahnya kerap bikin aku mikir apa sebenernya yang lagi dia lakuin setiap jamnya."
"Tapi belakang ini memang dia sering sibuk sama ipadnya kalo aku liat-liat."
"Exactly, biasanya dia cepet respon aku tapi sekarang kadang pikirannya kaya kebagi dua. Gak bisa fokus."
Bukannya Revanza ingin mengekang atau ingin tahu segala hal tentang Kakak kelas favoritnya itu. Namun melihat raganya ada tepat disampingnya tetapi pikirannya bagai tidak ada disana. Dan Revanza tidak merasa nyaman akan itu.
"Mungkin memang ada yang harus dia selesai Reva," Crystal mengangkat garpu dengan buah apel lalu menyuapkannya pada Revanza.
"Udah jangan terlalu dipikirin, mungkin sekarang memang dia lagi ada masalah yang harus diselesaiin." Revanza mengangguk dan menatap malam yang mulai terasa semakin dingin.
"Masuk yuk Kak, dingin." Ujar Revanza lalu berlari kecil mengarah pada kasur dan hanya gelengan kepala yang diberikan Crystal.
Menutup pintu balkon lalu dengan segera duduk disebelah Revanza, "Besok dateng aja ke cafe, atau engga bilanh sama Rai kalo kamu mau ke Cafe Harmonise."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...