Abraham juga Cakra telah samapai pada lapangan tenis. Mereka memutari lapangan yang tak terlalu jauh itu dengan berlari kecil. Abraham dan Cakra juga melakukan peregangan sampai sebuah motor tiba disana. Mereka bertos ria dengan Rafanza yang baru saja tiba dan memulai peregangan.
Permainan tenis lapangan memang sangatlah menyenangkan. Dengan segala kekuatan terkadang mereka berteriak di sertai pukulun kuat. Melepas segala hal yang tertahan didalam diri.
Rafanza berada di kubu berbeda dengan Abraham juga Cakra. Itu semua keinginan Rafanza.
"Lo berdua disana, gue sendiri." kata Rafanza.
Abraham juga Cakran beratatap bingung. "Abraham aja deh yang main, gue istirahat benaratan." ujar Cakra dan menaruh raket tenisnya pada bahu. Diantara tiga sekawan itu memang Cakra lah yang paling gampang lelah, entah memang lelah atau malas bermain terlalu lama.
"Gak seru lo Cak!" kata Rafanza dan melempar bola yang tepat mengenai kepalan Cakra. Cakra menoleh dan berjalan dengan kesal membawa serta bola tenis yang mengenai kepalanya.
"Lo nih yaa, ya udah lah yuk main " ujar Cakra kesal. Kepalanya sedikit berdenyut akibat lemparan yang vukup membuatmya terdiam sesaat.
Rafanza bergerak lincah kekanan dan kekiri. Dengan tangan berayun memukul bola tenis yang melayang kearahnya. Rafanza terasa melupakan hal yang sedang ia pikir hingga membuatnya sakit kepala.
Ketika pukulan smash dari Abraham terbang dengan kuat tanpa bisa dielakan. Rafanza luruh jatuh pada lapangan dengan nafas memburu. Dadanya naik turun mengontrol rasa lelahnya.
Abraham juga Cakra berjalan kearah Rafanza dan menidurkan diri. Mereka menatap langit malam. Gelap, hanya ada sinar lampu yang menyilaukan. Tidak ada benda langit yang terlihat.
Abraham menjadikan lengannya sebagai bantal dan menatap langit dengan pikiran menerawang. Kegiatan menebaknya belum juga selesai malah semakin kusut.
"Raf, Lo kok kasar banget sama Crystal?" tanya Abraham tiba-tiba. Rafanza mendengus mendengar itu. Baru saja ia sebentar melupakan tatapan perempuan itu. Sekarang tatapan itu kembali terniang dalam pikirannya.
"Gue gak suka sama tuh orang, lo berdua tau kalo gue udah gak suka, maka, gak ada ampun buat dia."
"Alesan lo gak suka sama dia?"
Rafanza bungkam dengan pertanyaan itu.
"Lo gak bisa benci sama seseorang tapi gak ada alesan pasti Raf."
Cakra membuka matanya dan terduduk. "Lo, tatapan, lo pernah bilang lo benci sama tatapan dia," celetuk Cakra dan menatap Sahabatnya itu penuh tanya. Seberapa mengganggunya tatapan Crystal hingga begitu berdampak pada Rafanza.
Rafanza dengan cepat berdiri, dan memasukan raketnya pada tas. Hendak bergegas pergi hingga suara Abraham menghentikannya.
"Gue tau, lo pasti lagi coba selesain masalah lo sendiri, kalo lo udah buntu dan gak tau arah, menoleh kebalakang, ada sahabat lo yang bakal denger dan bantu lo!" kata Abraham sedikit berteriak.
Rafanza menoleh, ia sadar kedua sahabatnya itulah yang selalu bersamanya. Bahkan mereka berhasil menutup telinga juga mata atas semua hal ia lakukan. Mereka terus bersamanya dengan bantuan yang selalu ia butuhkan.
"Gue duluan!" teriak Rafanza dengan satu tangan melambai ke atas tanpa berbalik badan.
Abraham mendesah keras, beginilah sahabatnya itu. Selalu merasa ia dapat melakukan semua tanpa adanya bantuan dari orang lain. Tapi, Abraham yakin masalah ini akan terkuak pada waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN SIDE
Teen Fiction"Mata Lo! Gue benci mata Lo!" Pertemuan yang diawali dengan saling adu mata merebah ruah menjadi lantunan cerita paling tidak dapat ditebak. Apa benar takdir selalu punya caranya tersendiri untuk merubah karakter seseorang dengan kedatangan manusia...