55. Can't Handle

19 3 0
                                    

Setelah mengantar Sheila pulang sedari check up setiap minggunya, Rafanza melajukan kendaraannya pada saru rumah yang sudah cukup lama tidak ia datangi.

Sudah cukup lama tali cakap juga temu tidak dibangun. Ia rindu, tentu saja. Namun, untuk sekarang mungkin memang jarak yang harus dijalani. Rasanya Rafanza ingin peluk dan rengkuh sang kasih namun tidak sekarang.

Waktu berlalu, saling pandang dari kejauhan. Saling lihat dan memperhatikan namun tidak ada satu langkah maju. Rafanza masih tidak juga tahu mengapa Crystal menjauhinya, memutuskan hubungan yang belum dimulai.

Kalian tahu, selama beberapa kali menemani Sheila Check up. Rafanza mengerti, gadis itu memang butuh seseorang, gadia itu juga rapuh sendirian. Keluarga Sheila memang cukup harmonis dibanding keluarga Rafanza.

Namun itu masalah kesehatan, tidak ada satu dari kedua orang tua Sheila unjuk perhatian. Keduanya sibuk dengan usaha yang baru dibangun di negara tetangga. Melupakan sang anak yang perlu ulur tangan dan kasih sayang lebih.

Tadi Rafanza tidak sengaja mendengar percakapan melalui telepon antara Sheila dan Ibunya,

"Mah, aku sakit. Ini sakit banget, Mamah kapan pulang?"

"Aduh sayang, maaf ya lagi sibuk. Kan ada Mbak Paras sama Mbah Yuli yang temenin, udah ya. Mama mau balik kerja."

Tangis Sheila pecah saat itu juga, tragisnya gadis itu bungkam mulutnya agar tidak mengeluarkan suara apapun. Memukul-mukul dada akibat sesak yang mulai melingkupi hatinya.

Dan, Rafanza hanya dalat diam. Mendengar jerit tangis Sheila yang tidak juga keluar seluruhnya. Perempuan yang sudah mengerti bahwa semuanya tidak dapat menjadi miliknya. Menjadi sosok lebih tenang dan simpan sendiri segalanya.

Iba, tentu saja. Samapi tangis mereda barulah Rafanza ambil langkah mendekati Sheila.

Menyadari ada yang mendekati dirinya dengan terburu Sheila mengusap kasar bekas air matanya. Dan Rafanza lihat semuanya.

"Gue cariin dari tadi tau Shei, ngapain sendirian disini?"

Sheila angkat kepalanya, melukiskan senyum yangterlihat masih juga tenang. Walau mata memerah bisa jelaskan semuanya.

"Eh, maaf. Aku cuma lagi pengen duduk tenag aja."

"Ini matanya merah kenapa?"

"Oh, kayanya efek kemoterapi deh Raf."

Rafanza tahu itu bohong, karena selama ini Rafanza tahu efek samping dari kemo namun Rafanza hanya mengangguk mengerti.

"Yaudah kita pulang ya, kamu pasti capek banget abis kemo."

Lagi-lagi Sheila tersenyum, "Makasih banget ya Raf mau nemenin aku. Padahal aku dulu—"

"Itu dulu Shei, sekarang kalo butuh apa-apa lo bisa minta ke gue ya. Gue pasti bantu selama gue bisa."

Muncul Rasa sesal dalam hati Sheila, sebab karena dirinya lah jarak Rafanza dan Crystal menjadi begitu nampak. Dan ini harus segera diluruskan. Sheila tidak ingin menjadi sumber luka lagi bagi Rafanza.

Lagi-lagi hatinya merenyuh, seberapa jahat dirinya pada cerita yang ditulis oleh Rafanza dalam hidup lelaki itu.

*****

Tak lama perjalan Rafanza akhirnya sampai pada depan gerbang sang Kasih. Hari-hari dahulu tiba-tiba kembali memenuhi segala pikirannya. Setiap momen yang dihabiskan bersama Crystal, setiap senyum.

Pula, saat awal mereka saling mengenal. Rafanza tak yakin ada perempuan sebaik Crystal yang dapat menerima dirinya. Tabpa mengungkin segala kesalahan dan perbuatan dimasa lampau. Crystal bagai mengerti bahwa ada banyak hal yang tersimpan dalam diri Rafanza.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang