7. That Feeling

142 7 2
                                    

Crystal, Zanna, Nadira juga Aneisha sedang dengan senangnya tertawa bersama. Walau Crystal hanya sebatas terkekeh juga tersenyum tipis menanggapi itu.

Mereka telah menyelesaikan kegiatan makan siang. Menunggu sampai bel pertanda pelajaran akan di mulai kembali. Crystal sesekali mengelilingi kantin dengan matanya. Orang yang ingin ia lihat tak kunjung masuk.

Jika bertanya apa dinding pembatas dirinya masih kokoh ataupun tidak. Maka jawabannya ialah TIDAK, khusus untuk satu orang itu. Bahkan dengan mudahnya lelaki itu memasuki hatinya yang selama ini tidak terparti nama siapapun.

Crystal menyesap minum miliknya. "Ini hari terakhir promo loh, kalian beneran pada ga bisa jalan hari ini?" ujar Crystal tak bersemangat. Ia telah menunggu teman-temannya berhari-hari namun tidak kunjung datang.

"Kalo gue sih bisa-bisa aja." ujar Nadira dengan mengeluarkan ponsel miliknya. Dengan telapak tangan basah, hingga terjatuh dengan tak dapat di cegah ponsel itu pada lantai.

"Ih, lo tuh ya, gemes gue sama kebiasaan lo," kata Zanna dengan menjitak gemas kepala Nadira. "Gue juga bisa Al, tenang aja, jangan murung gitu dong.." ujar Zanna menoleh pada Crystal setelah mengalihkan atensinya dari kecerobohan Nadira.

"Gue juga bisa yang pasti, karena ini minggu terakhir gue bebas," kata Aneisha lemah, tidak bersemangat untuk memulai minggu depan yang akan berat.

"Jangan sedih dong, kita gak bakal ilang kok Sha." kata Nadira dengan cengirannya.

"Jadi fiks kan hari ini ke cafe?" tanya Crystal untuk memastikan.

"Jadi Al.. " ujar ketiga perempuan itu bersamaan.

Crystal tersenyum senang dan kembali menyesap minum miliknya. Sampai sebuah suara keras tepat disebelah Crystal. Terdapat sebuah kepala yang menempel pada meja dengan sebuah tangan menahan pergerakan kepala itu.

Dua pemuda telah duduk tepat di depan kepala itu dengan membawa makanan. Crystal dan ketiga temannya sedikit bergeser. Crystal sudah tahu pasti siapa pelakunya. Pasti dia, dia.

Orang yang menahan kepala itu duduk tepat disebelah Crystal. Dengan kasar di tariknya rambut lelaki itu hingga mendongak. Crystal ikut meringis melihat itu.

"Kan udah gue bilang, kalo gue gak suka penolakan, trus lo tadi bilang apa? 'Gue gak bisa ngerjain tugas lo Raf'," perkataan Rafanza terhenti dan terus menarik rambut korbannya kali ini.

Permasalahannya, orang yang sedang dihajar Rafanza kali ini adalah murid Cerdas. Mengikuti berbagai olimpiade sains, dan sudah menjadi langganan Rafanza menyerahkan segalantugasnya pada lelaki kutu buku itu. Dan saat ia menerima kata penolakan ia tersulut. PENOLAKAN, satu kata yang Rafanza benci.

"Lo siapa hah?! Bisa nolak suruhan gue sesuka lo?!" bentak Rafanza dengan keras.

Cakra memberikan nasi yang ia pesan kepada Rafanza. Rafanza mengangkat piring itu dan menyiramkan isinya pada lelaki disampingnya. Semua orang terkesiap dengan hal itu. Dan lelaki itu hanya bisa pasrah, menerima semua perlakuan itu. Menangis pun tidak ada gunanya kalau berhadapan dengan Rafanza.

Lalu dengan keras di lepaskan kepala itu hingga membentur meja dengan keras. Crystal kembali menggeserkan duduknya dan ternyata di sadari oleh Rafanza. Rafanza menarik tangan Crystal kasar. Menggebrakan tangan itu pada meja. Telapak tangan Crystal terasa panas dan sakit kali ini.

Senyum miring Rafanza terbit begitu saja. Rafanza mendekatkan diri dan menatap tajam mata Crystal.

"Dan lo? Siapa lo bisa berbuat seenaknya ke gue?" tanya Rafanza dengan geraman dan emosi tertahan. Ia kesal, tiada hari ia tidak memikirkan mata sialan itu.

HIDDEN SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang