"Gulf? Kau benar-benar kembali ke kota ini?" Win memeluk Gulf yang kini tengah berdiri dihadapannya dengan style baru, tubuh Gulf lebih kurus dan rambutnya yang tak lagi berwarna hitam. Ini benar-benar tidak terlihat seperti Gulf, pria itu baik-baik saja, tapi Win merasa bahwa temannya itu terlihat berbeda.
"Iya, belum lama. Sekitar dua bulan mungkin," sahut Gulf dengan santai.
"Kenapa aku tidak pernah melihatmu?" tanya Win.
"Karena aku pandai berkamuflase, hahaha."
"Papa," ucap seorang gadis mungil yang menghampiri Win, ada sebuah sisir dan ikat rambut di tangan gadis itu.
"Ghina, sudah selesai mandi?" tanya Win yang kemudian memeluk si gadis kecil.
"Anak mu?" tanya Gulf, senyum diwajah gadis itu mengingatkan Gulf pada Tasha, harta berharga yang bahkan tak sempat ia lihat. Jika saja saat itu Gulf tidak bodoh, Tasha pasti akan baik-baik saja dan tumbuh semanis bahkan mungkin lebih manis daripada Ghina.
Win mengerti perasaan Gulf, ia harus berpisah dengan anaknya dalam waktu yang sangat lama, luka dan sakit yang ada di tubuh Gulf pasti sudah sembuh sekarang, tapi luka hatinya?
Perlahan Win mengusap bahu Gulf, memberikan sedikit kehangatan pada jiwa Gulf yang hampa. "Masuk Gulf, aku akan buatkan minum untukmu."
Ghina menghampiri Gulf yang tengah duduk manis di salah satu kursi ruang tamu, gadis itu menyodorkan ikat rambut padanya.
"Tolong ikat rambut Ghina," ucap si bocah.
Gulf tersenyum menatap gadis manis itu, tangannya meraih benda yang diberikan oleh Ghina. Perlahan Gulf menyisir rambut yang lembut dan panjang milik si gadis, dia sangat cantik.
"Paman, apa paman dan papa berteman?" tanya gadis itu.
"Iya, benar." sahut Gulf yang masih asik menata rambut.
"Apa paman sudah menikah?" pertanyaan Ghina membuat Gulf hampir tertawa, bagaimana bisa anak kecil menanyakan soal pernikahan?
"Aku punya seorang teman, tapi kami sudah berpisah karena daddy meminta aku pindah dari sekolah itu. Temanku tidak punya teman lagi sekarang," keluh Ghina dengan wajah cemberut.
"Apa dia laki-laki?" goda Gulf.
Ghina mengangguk dengan kuat, membuat rambutnya yang sudah ditata rapi oleh Gulf menjadi kembali berantakan.
"Dia laki-laki, pemarah, tidak ada yang mau berteman dengannya."
"Lalu kenapa kau berteman dengannya? Kau suka padanya?" tanya Gulf yang harus mengulang kegiatannya dari awal.
"Karena dia tidak bisa menyebut huruf l."
"Bagaimana dia menyebutnya?" tanya Gulf yang masih fokus pada rambut panjang milik Ghina.
"Jika dia menyebut rumah, maka dia akan bilang lumah."
Gulf memperhatikan Ghina sejenak, "itu berarti dia tidak bisa menyebut huruf r bukan l."
"Itu yang Ghina maksud," ucap putri kecil Win.
"Kau kasihan karena dia tidak bisa berbicara dengan benar?"
"Aku memang kasihan, tapi bukan karena itu. Aku pernah melihatnya menangis." Ghina kembali tertunduk lesu.
"Kenapa? Apa seseorang mengganggunya?"
Ghina menggeleng, "dia bilang dia rindu pada papanya. Aku pernah bercerita pada papa ku, lalu aku menyuruh papa untuk membiarkannya bermain bersama kami. Tapi tiba-tiba banyak paman-paman yang datang, lalu marah. Mereka memiliki badan yang sangat besar!" ucap Ghina seraya melebarkan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...