Mew masih betah untuk berada di samping Gulf, tangannya tak pernah berhenti untuk mengusap kepala Gulf yang masih tertidur.
Tadi malam, setelah menangis begitu hebat sambil mengucapkan maaf, Gulf tiba-tiba jatuh pingsan. Beruntung karena saat itu Mew memeluknya dengan erat, jadi Gulf tidak sampai jatuh ke lantai. Waktu ketika Gulf memperlakukan Mew dengan buruk bukanlah hal yang paling Mew khawatirkan, tapi keadaan seperti ini, keadaan saat Gulf dalam kondisi yang terlihat buruk.
Perlahan Gulf mulai mengerjapkan matanya, ia menatap wajah yang terlihat tersenyum ditengah khawatir. Apakah Mew tidur tadi malam? Wajahnya terlihat sangat kuyu.
"Mew, jam berapa sekarang? Alex?"
"Gulf," Mew mencegah Gulf yang mencoba bangun. "Alex sudah berangkat ke sekolah, tidak perlu khawatir. Maaf, tapi aku terpaksa harus meminta Siri untuk menemaninya."
Gulf tiba-tiba menutup matanya dengan erat, bukan karena ia ingin mengabaikan Mew, tapi kepalanya terasa sangat pusing.
"Gulf, apa kau benar-benar sakit? Tunggu sebentar, akan ku panggilkan dokter untuk ...."
Kalimat Mew terpotong karena Gulf yang tiba-tiba memegangi tangannya, bukan dengan erat, tapi sangat lembut. "Mew, tidak perlu dokter. Kau ada disini saja sudah cukup."
"Tapi, Gulf. Badanmu hangat, kita perlu dokter untuk memeriksa keadaanmu, sebelum memburuk."
"Aku akan baik-baik saja, selama kau didekat ku." Gulf mengulurkan kedua tangannya untuk Mew, berharap pria itu akan menariknya untuk bangun. Tapi bukan itu yang dilakukan oleh Mew, ia justru menyambut uluran tangan Gulf dengan pelukan. Rasanya Gulf ingin menangis, kenapa Mew bisa begitu mencintai Gulf hingga sedalam ini? Bahkan setelah semua yang Gulf lalukan padanya, kenapa Mew masih bisa membalas uluran tangan Gulf dengan pelukan? Tidakkah akan lebih setimpal jika Mew menampar Gulf?
"Terimakasih, Gulf." lirih Mew.
"Kenapa Mew?" tanya Gulf dengan suara bergetar.
"Kenapa kita harus berada dalam situasi yang begitu rumit? Kenapa harus kau orangnya? Kenapa kau yang terlibat dalam kematian orangtuaku? Kenapa aku tidak bisa membencimu meski aku sangat ingin?" air mata Gulf kembali mengalir ketika ia membatin, seandainya bisa Gulf meneriakkan suara hatinya pada Mew.
"Terimakasih karena masih bertahan disini, disisi si brengsek ini." Mew memeluk Gulf dengan penuh ketulusan, seakan duri jahat di badan Gulf sudah lenyap. Bagi Mew, Gulf adalah malaikat penyelamat sekalipun Gulf memandangnya sebagai si pencabut nyawa.
Gulf kian menenggelamkan wajahnya pada bahu Mew. Dengan tangis yang coba ia tahan, Gulf mencoba untuk menyampaikan isi hatinya pada Mew. "Mew, hiks ... saat kau begitu dekat dengan Jes dulu, hiks ... rasanya sangat menyakitkan melihatmu dekat dengan orang lain, hiks ...."
"Maaf Gulf ...." Mew menggunakan tangannya untuk mengusap kepala Gulf, Mew tau, luka itu pasti akan tertanam selamanya di hati Gulf. Itu memang salah Mew, wajar jika Gulf membencinya.
Gulf menggeleng kuat. "Tidak Mew, hiks .... Aku minta maaf, aku membuatmu merasakan sakit yang sama hiks .... Saat aku pergi dengan Tay, aku pasti sangat melukaimu kan? Hiks ...."
"Tidak Gulf, tidak apa. Aku baik-baik saja, berhenti menangis."
"Jangan begini, Mew hiks. Kau seharusnya marah padaku!" Gulf menjauh dari Mew dan meraih tangan pria itu dengan kasar, "kau seharusnya meluapkan amarahmu padaku! Jangan memaafkan aku!"
"Gulf!" Mew tidak mengerti dengan sikap Gulf saat ini, pria itu terus berusaha untuk menarik tangan Mew, memaksa Mew untuk menampar wajahnya. "Benar! Aku marah padamu! Waktu itu kau memaafkan aku kan? Itu juga yang akan aku lakukan, Gulf. Daripada harus memukul wajahmu, aku lebih baik memotong tanganku!"

KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...