Fa diam menahan gemetar, kini ia begitu bimbang antara harus menceritakan kisah Mew pada Gulf atau tetap diam sampai Mew memutuskan untuk membuka mulut sendiri. Tatapan serius dari Gulf mengintimidasi Fa hingga kaki tangan Suppasit itu tak mampu bergeming.
"Fa, aku bertanya padamu."
"Saya tidak tau tuan, itu diluar kuasa saya."
"Fa, aku sebenarnya tidak terlalu khawatir atau penasaran. Jujur, itu bukan urusanku. Jika tidak dijawab pun aku tidak akan memaksamu," ucap Gulf santai.
Fa menghela nafas, "baik tuan."
"Tapi aku punya pertanyaan lain, berkas usang yang disimpan Mew. Itu ada padamu kan?" tanya Gulf lagi.
Tatapan Fa kembali terfokus pada Gulf, kenapa Gulf membahas hal lain yang lebih rawan? "Berkas apa, tuan? Saya tidak mengerti."
"Berkas yang pernah ku ajukan untuk kejaksaan agar menyelediki kasus orang tuaku, aku tau kalian menyimpannya. Sembunyikan itu dengan baik, karena aku punya rekaman saat Mew menabrak mobil orangtuaku. Kalau berkas itu sampai di tanganku, aku akan mudah untuk menghancurkan Mew. Kalian tidak akan membiarkan aku menang begitu saja kan?"
Fa menelan ludah, ia tidak berpikir bahwa Gulf benar-benar akan membalas Mew. Jika Gulf ingin membalas, seharusnya itu hanya pada keluarga ini, tidak perlu melibatkan Mew.
"Fa, jangan membebani dirimu dengan pikiran yang berat. Aku hanya ingin memberitahumu, paling tidak harus ada satu orang yang tidak perlu terkejut ketika keluarga ini hancur."
"Tuan Gulf, berkas yang anda lihat saat itu. I-itu ... itu palsu." Kalimat yang keluar dari mulut Fa membuat membuat Gulf tersenyum, palsu katanya?
"Saya mengerti, Anda mungkin tidak percaya dengan apa yang saya katakan. Berkas yang anda ajukan memang ditolak kejaksaan, kami yang menutup mulut mereka. Tapi, berkas yang anda lihat itu bukan yang asli," ucap Fa.
"Fa, aku bukan anak kecil yang bisa kau bodoh begitu saja."
"Saya percaya, tuan masih mencintai tuan Mew. Tuan Mew tidak bersalah, itu murni ketidaksengajaan."
"Kalau tidak sengaja kenapa dia malah melarikan diri, bukannya bertanggungjawab."
"Saya tidak bisa menjelaskannya, permisi." Fa berlalu begitu saja bersama susu yang ia bawa, meninggalkan Gulf bersama tanda tanya yang perlahan membesar.
"Alex?" sapa Gulf pada putranya yang asik menenggak susu yang baru dibawakan oleh Fa.
"Papa? Alex sedang minum susu."
"Iya, sayang. Habiskan susunya, lalu kita pulang."
Alex mengangguk ke arah Gulf. "Fa, boleh antarkan Alex dan papa pulang? Alex tidak suka naik taksi."
"Boleh, tuan Alex. Fa akan siapkan mobilnya dulu."
***
Disepanjang perjalanan, mata Fa hanya terfokus pada kaca yang memantulkan bayangan Gulf juga Alex. Dari situ Fa bisa tau bahwa Gulf tidak bermain-main dengan ketulusannya pada Alex, Gulf benar-benar memperhatikan bahkan bagian-bagian kecil dari putranya.Senyuman ceria dari tuannya tak pernah lepas dari ingatan Fa, ia masih jelas ingat bagaimana putra Kanawut meraung histeris dihari kematian kedua orangtuanya, orang itu kemudian tertawa bahagia didalam keluarga yang menghancurkan keluarganya. Dalam posisi ini Fa tidak mengerti apakah Gulf pantas untuk menyalahkan Mew atau tidak, Gulf berhak menuntut kematian orangtuanya, tapi Mew tidak pantas untuk disalahkan sepenuhnya.
Semakin lebar senyuman diwajah Gulf, semakin kuat rasa bersalah mencekik Fa.
"Yey, kita sudah sampai. Em, mobil daddy tidak ada. Sepertinya Daddy sudah berangkat ke kantor," ucap Gulf sambil melepaskan sabuk pengaman pada Alex.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...