Gulf menghela nafas entah yang keberapa kalinya, helaan nafas itu seolah menjelaskan bahwa dirinya sedang berada didalam masa yang benar-benar sangat amat sulit. Gulf hanya duduk diam di bingkai jendela seraya memegangi piala yang diberikan oleh Alex padanya, tatapannya kosong menatap langit yang cerah. Ia sama sekali tak menghawatirkan tentang bagaimana ia bisa langsung mati jika sampai tergelincir dari tempatnya sekarang.
Tay yang baru datang langsung meletakkan tasnya diatas meja, ia kemudian melepaskan jasnya dan menyapa Gulf dengan sangat hati-hati. Gulf benar-benar banyak menyiksa dirinya akhir-akhir ini, meminum ini, menghisap itu, tidak makan dan hanya melamun sepanjang hari, ia bahkan melewatkan jam tidurnya.
Tubuh Gulf menjadi lebih kurus dari sebelumnya, rambutnya acak-acakan bak tak terurus berbulan-bulan. Siapa yang tahan untuk melihat keadaan temannya yang berubah secara tiba-tiba?
"Kana?" Tay menyala lirih, khawatir Gulf akan terkejut lalu menyebabkan hal yang tidak diinginkan. Namun sebaliknya, tatapan kosong itu beralih perlahan untuk menatap wajah Tay yang penuh simpati.
"Kau sudah pulang?" tanya Gulf.
"Aku membelikan makanan untukmu, makanlah dulu, lalu lanjutkan kegiatanmu."
Gulf menggeleng pelan, "untuk apa makan? Makan hanya untuk orang yang lapar."
"Bisakah kau berhenti menyiksa dirimu sendiri?" tanya Tay yang sudah mulia kewalahan untuk memaklumi sikap teman sekamarnya.
"Aku tidak ingin diriku terluka, lebih baik aku yang menyakitinya daripada orang lain."
"Aku tidak faham pendirian seperti apa yang kau pegang, tapi bisakah kau menelan sesendok saja nasi dan menjadi normal? Kau seperti mayat hidup."
"Tay, kau yang banyak bekerja, urus saja makananmu sendiri."
"Kau tetap tidak akan makan? Kau akan seperti ini sampai mati? Hah?!"
"Sttt, jangan memperpanjang masalah yang tak penting. Apa kau membelikan rokok untukku? Kurasa aku perlu benda itu untuk menenangkan pikiranku."
Tay mengangguk gusar, tangannya merogoh isi dari kantong kresek dan melempar satu slop rokok ke atas kasur Gulf. "Habiskan semuanya, tidak usah makan, matilah bersama asap-asap itu."
"Terimakasih," ucap Gulf yang kini tengah turun dari jendela dan menghampiri rokoknya.
Gulf kemudian menempatkan salah satu batang nikotin itu ke mulutnya, tapi ia kembali celingukan saat tak menemukan pemantik. Ia kembali menatap Tay dengan tatapan memelas, berharap Tay akan memberinya korek.
Tay membuang nafas kasar sebelum akhirnya menghampiri Gulf dan merebut paksa semua rokok yang telah ia berikan, "hentikan semuanya!" Tay meninggikan suaranya hingga Gulf tercengang.
"Apa? Aku bahkan belum memulainya."
"Apa kau benar-benar menjadi seperti ini hanya karena Mew?" lirih Tay yang benar-benar muak.
"Kenapa kau membahasnya?"
"Karena kau yang memulainya Gulf, aku membenci semua orang bersikap buruk yang aku temui kecuali kau. Tapi aku membencimu sekarang, kau terlalu pandai berbohong hingga kau menjadi sangat mahir, tapi kau tidak akan pernah bisa membohongi dirimu sendiri Gulf."
Gulf memijit keningnya pelan, "aku tidak mengerti ucapanmu, kembalikan saja rokokku."
"Katakan saja padaku, kau masih mencintai Mew kan?"
Gulf terdiam, batinnya menggeleng kuat. Gulf tidak mencintai Mew, itu sudah ia kubur bertahun-tahun lamanya. Gulf hanya memikirkan Alex, bukan Mew.

KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfikceAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...