Gulf memperhatika Alex yang sedang asik mengunyah sosis, tidak jauh berbeda dengan sifatnya saat masih di perut Gulf. Gulf tersenyum tipis, tangannya mulai mengelus kepala Alex dengan lembut. Anak itu sama sekali tak takut pada orang asing yang baru ia temui, dia tak tau asal usul Gulf tapi menurut saja saat Gulf mengajaknya berkeliling. Gulf tau, Fa pasti sedang kebingungan mencari Alex, tapi tak apa, Gulf tak berniat menculik anak ini, hanya ingin melepaskan rindu.
"Kau suka sosis?" tanya Gulf.
Alex mengangguk, "suka, tapi daddy tidak mengijinkan aku memakannya."
Gulf mengerutkan keningnya, "kenapa?"
"Tidak tau, daddy selalu malah-malah, " keluh anak kecil yang lucu itu.
"Mungkin kau nakal, makanya daddy mu marah. Kau kan sering lari-lari di jalan raya," sela Gulf.
"Aku tidak lali-lali, aku belmain."
"Tidak boleh bermain di jalan raya, ada banyak kendaraan besar. Apa kau lupa kau pernah hampir tertabrak," sahut Gulf.
"Kamu juga belmain di jalan laya," sela Alex tak mau kalah.
"Itu karena aku bekerja, lagipula aku sudah dewasa."
"Aku ingin mencali kamu, kamu lama sekali. Aku lelah menunggu di sana sehalian." Alex bersungut-sungut.
"Kenapa mencari ku? Kita kan tidak saling kenal," ujar Gulf.
Mata Alex tertuju pada jemari Gulf yang ada di atas meja, benda yang tak asing melilit di jari putih itu. Cincin yang serupa dengan milik daddy-nya.
"Apa kau akan malah jika seseolang membohongimu?" tanya Alex tiba-tiba.
Gulf mengangguk, "tentu, aku akan langsung memukulnya dengan keras jika seseorang berbohong padaku."
Alex tertunduk lesu, ia meletakkan kembali sosis di tangannya. "Kenapa?" tanya Gulf saat menyadari perubahan emosi pada si bocah.
"Daddy ku punya cincin yang sama dengan punya kamu, daddy bilang cincin itu hanya ada dua, tidak ada lagi didunia. Satu milik daddy, satu lagi milik papa. Tapi kamu juga punya," Alex menatap cincin itu dengan tatapan dalam.
"Apa papamu ada di rumah?" tanya Gulf, Gulf tetap memakai cincin itu bukan tanpa alasan. Seperti yang pernah dikatakan, Gulf tak pernah bisa melupakan keluarga kecilnya, tapi kebencian terus mendorong Gulf mundur. Balas dendam adalah hal terpenting untuk kapanpun.
Alex menggeleng, "daddy bilang papa sedang berolat, sangat jauh. Daddy sudah beljanji akan membawaku beltemu papa." Alex tersenyum riang, seolah begitu percaya dengan janji sang daddy.
"Daddy-mu bilang begitu?" tanya Gulf yang masih berusaha untuk tersenyum.
"Apa kau membenci papa mu?" tanya Gulf lagi.
"Tidak."
"Kenapa?" tanya Gulf.
"Kalena daddy sangat menyayangi papa, meskipun aku tidak pelnah melihat papaku, tapi aku tau papaku baik. Dia tidak pelgi, dia hanya menyembuhkan luka."
Mata Gulf mulai berkaca-kaca, sungguh, hatinya terasa seperti sedang di iris. Bagaimana cara meminta maaf pada bocah laki-laki dihadapannya?
"Bagaimana jika aku adalah papamu? Apa yang akan kau lakukan padaku?" Gulf tak berani menatap wajah Alex, wajah yang tanpa suci tanpa dosa, namun Gulf bersikap seolah membuangnya. Sangat berbanding terbalik dengan Alex yang justru tersenyum menatap wajah Gulf, ia melompat turun dari kursi lalu menghampiri Gulf dan memeluknya dengan erat.
"Aku akan memeluk kamu sepelti ini, lalu aku bilang kalau aku sangaaaaat sangat melindukan kamu." bulir air mata jatuh dari pelupuk yang tak lagi dapat membendung rasa pedih, pantaskah Gulf menjadi orang tua saat ia melihat anaknya tetap tegar saat ia bahkan menelantarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...