54

1.6K 186 76
                                    

Matahari digantikan oleh bulan, tak ada satupun bintang yang menemani awan karena diluar sedang hujan. Apakah awan akan marah pada bintang karena meninggalkannya? Atau bintang yang marah karena awan berubah menjadi hitam?

Mew duduk diruang tamu dengan bersandar pada sofa, pria itu memeluk lututnya dengan sangat erat.

Semuanya sia-sia, Mew kehilangan harapannya. Tak ada satupun bandara atau pelabuhan yang mencatat nama Gulf sebagai penumpang pesawat atau kapal, jika Gulf tidak ditemukan di kota ini juga lalu Gulf kemana?

Sepasang mata tengah memperhatikan Mew dari lantai atas, Sinta tersenyum dengan tangannya yang menyilang di dada dan memperhatikan Mew yang tengah kehabisan asa ditengah gelapnya ruangan.

Perlahan, wanita itu mulai menuruni tangga untuk menghampiri sang putra. Sudah cukup untuk semua air mata, ini adalah saatnya untuk tertawa.

"Mew," sapa Sinta pada Mew yang menatap kosong kearah televisi.

"Menonton apa?" tanya Sinta yang kemudian meletakkan secangkir kopi dimeja kaca.

"Ini?" lirih Mew tanpa menoleh. "Ini tayangan favorit Gulf, kami biasa menontonnya bersama saat hujan. Gulf tak ada, tak apa aku akan menontonnya sendirian untuk sementara. Hanya sementara."

Sinta melirik malas setelah mendengar jawaban dari Mew. "Ibu membuat kopi untukmu, minumlah untuk menghangatkan badan. Kau baru saja pulang dari makam kan? Ibu tidak ingin kau terkena flu."

Mew tersenyum dan melepaskan pelukannya pada lutut. "Biasanya Gulf akan membuatkan aku teh dan membantuku mengeringkan rambut. Tapi sekarang dia tidak ada, aku harus bagaimana?" air mata kembali jatuh dari pelupuk mata Mew.

"Ibu paham, Mew."

"Ibu tidak paham, ibu tidak tau kalau aku melukai Gulf dengan kata-kata ku. Ibu tidak pernah mendengarkan aku, bagaimana ibu paham? Ayah, aku bahkan tidak bisa meminta saran ayah sekarang."

Sinta menyerahkan cangkir berisi kopi pada Mew, Mew yang sudah tak memiliki semangat jelas menolak pemberian Sinta ditambah lagi ia memang tak suka kopi.

"Minum sedikit saja, Mew. Jangan membuat ibu khawatir dengan badanmu yang dingin." bujuk Sinta.

Mew berpikir sejenak, mungkin tak ada salahnya mendengarkan Sinta. Terakhir kali ia mengabaikan perkataan orang lain, ia malah jatuh ke jurang tak berdasar.

Mew menenggak hampir setengah dari isi cangkir, itu membuat Sinta tersenyum kemudian memeluk Mew setelah ia meletakkan cangkirnya kembali.

"Maafkan ibu, Mew." batin Sinta seraya menepuk-nepuk pelan punggung Mew.

Mew memejamkan matanya dan membalas pelukan Sinta, Sinta yang telah tergambar sebagai sosok iblis dihati Mew ternyata memiliki pelukan yang hangat. Sehangat ini kah pelukan ibu kandungnya?

"Mew, sekarang hanya tinggal kita berdua. Mew harus membagi apapun dengan ibu, iya kan?" tanya Sinta lirih.

Mew yang masih memejamkan mata dalam pelukan Sinta lantas mengangguk, ia merasa bahwa apa yang dikatakan oleh ibunya itu benar.

"Mew akan mengadakan rapat besar dua hari lagi, benar?" pertanyaan itu kembali mendapat anggukan dari Mew. Mana mungkin ia tidak ingat dengan hari itu, tenggang waktu yang Gulf minta untuk surat perceraian. Itu ada di hari yang sama.

"Mew, ayahmu sudah memberikan semua yang dia punya pada Alex."

"Alexander Suppasit, iya ayah mewariskan semuanya karena Alex adalah cucu laki-laki." ucap Mew yang masih berada dalam pelukan Sinta.

"Bukankah menurut Mew Alex terlalu kecil untuk semuanya? Alex tidak bisa mengelola itu kan? Lagipula Alex tidak ada disini, dia memilih pergi bersama Gulf daripada menetap didekat Mew."

IGNITI2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang