Brak!!!
Mew tersentak dan terdiam didepan pintu setelah Gulf membanting serta mengunci pintu kamar tamu.
"Gulf," lirih Mew seraya mengetuk dengan pelan.
Gulf duduk bersandar pada pintu yang tengah diketuk secara terus menerus oleh Mew, dengan susah payah Gulf mencoba untuk membendung air matanya yang terus menerobos keluar.
"Tak apa, Gulf. Tidak masalah, setelah malam ini, tak akan ada lagi air mata. Besok akan baik-baik saja," ucap Gulf lirih seraya memeluk dirinya sendiri.
"Hiks ...." Gulf menutup mulutnya dengan telapak tangan, mengunci isakannya agar tak keluar hanya untuk menangisi Mew yang bodoh.
"Gulf, Gulf aku mohon buka pintunya. Aku tidak tau aku kenapa, aku tidak bermaksud mengucapkan itu. Gulf, aku tidak ingin melukaimu."
Kedua bahu Gulf bergetar hebat, pria itu tak sanggup menahan tangisnya lagi. "Ketika kau bersama Jes, itu tak begitu menyakitkan karena kau hanya mendiamkan aku. Tapi dengan Art, kau terlihat seribu kali lebih brengsek karena secara terang-terangan membelanya." batin Gulf.
"Hiks ...."
Mew berlutut dilantai tepat didepan pintu yang menjadi pembatas antara dirinya dengan Gulf, isak tangis Gulf yang terdengar samar merobek jantung Mew.
Mew tau bahwa ucapannya baru saja melukai hati Gulf, tapi Mew tidak tau kenapa dia bisa berucap sebegitunya tanpa berpikir.
***
Sejak hari dimana Mew menyatakan secara jelas bahwa ia tak ingin Gulf mengusik hidupnya, sejak saat itulah Gulf benar-benar tak pernah menyapa Mew sama sekali.Sesekali Mew sengaja melakukan kesalahan dengan tujuan agar Gulf menegurnya, nyatanya Gulf lebih memilih untuk diam seribu bahasa tanpa ekspresi ataupun emosi.
Mati-matian Mew mencoba untuk mengajak Gulf berkomunikasi, tapi Gulf hanya bertingkah layaknya mayat hidup yang mengiyakan apapun perkataan Mew tanpa membantah ataupun memberikan komentar.
Gulf tak pernah menolak ataupun melarang Mew. Ia hanya menjalani hari-hari seperti yang Mew inginkan sebelumnya, diam dan membiarkan para pelayan untuk melakukan segalanya.
Bahkan ketika Mew mencoba untuk mencium Gulf, Gulf hanya diam. Tidak menolak, tidak juga membalas.
Gulf benar-benar hidup selayaknya robot yang diprogram khusu untuk mengamati tanpa bisa melakukan tindakan.
Hingga saat ini, Gulf berdiri didepan pintu sebuah kamar hotel dan langsung membuka pintu itu tanpa permisi penghuninya.
Saat ini juga, Mew memeluk Art yang terlihat sedih setelah beberapa orang di kantor menyudutkannya.
Tapi pelukan itu seketika terlepas setelah Mew menyadari kehadiran Gulf dibelakangnya.
"Gulf?" sapa Mew yang terlihat panik namun juga bingung.
Gulf melirik Art sekilas sebelum memilih untuk kembali pergi, bajingan itu terlihat sudah terbiasa dengan tatapan Gulf.
"Gulf! Tidak bisakah kau bertindak seperti manusia?" keluh Mew yang lelah dengan segala upaya untuk berbaikan dengan Gulf.
Tapi Gulf hanya menanggapinya dengan tatapan kosong dan helaan nafas.
"Gulf, aku sudah meminta maaf padamu. Aku benar-benar tidak tau kenapa aku lepas kendali akhir-akhir ini, aku tidak bisa mengendalikan diriku." tegas Mew yang seketika itu membuat Gulf melangkah mendekatinya.
Sikap dan ekspresi Gulf benar-benar kosong tanpa harapan, dan itu jauh lebih menakutkan daripada saat dirinya dikuasai oleh amarah.
"Lalu kau ingin aku seperti apa Mew?" tanya Gulf dengan wajahnya yang datar saat dirinya berdiri dihadapan Mew.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...