Lampu disko tak lagi menggairahkan, beat music yang menggebu tak lagi membuat adrenalin terpacu. Kini, Gulf ataupun Kana hanya duduk diam bersama segelas bir yang tak kunjung berkurang. Jari telunjuknya yang lentik hanya menyentuh pinggiran gelas, matanya menatap tanpa arti seakan tak ada kehidupan untuk hari esok.
Dewa kharisma telah kehilangan pesonanya, memilih untuk duduk diam dan menyembunyikan singgasananya dibalik awan mendung. Otaknya berpikir keras, menentukan bagaimana cara terbaik untuk membuat Mew hancur, terpuruk dalam luka. Mew mungkin mengatakan maaf kala itu, tapi Mew tak akan mengerti bagaimana hari-hari sulit itu berlalu. Mew harus merasakannya, bagaimana jika kehidupannya yang selalu lancar tiba-tiba dipenuhi oleh semak belukar yang berduri.
"Permisi," sapa laki-laki kaya yang pernah bertemu dengan Gulf dihari-hari sebelumnya, si pemakai arloji bertabur berlian.
Gulf melirik orang itu sejenak, lalu mengabaikannya.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya laki-laki itu.
"Bar ini bukan milikku, kau bisa duduk di manapun." Gulf menjawab seadanya.
"Apa kau mengenal Mew?" tanya pria itu yang sontak membuat Gulf menoleh ke arahnya.
"Oh, perkenalkan namaku Joy. Kita tak pernah memperkenalkan nama sebelumnya, aku menanyakan mengenai Mew karena aku tak tau hubungan kalian. Aku melihatnya menghampirimu malam sebelumnya." Joy membuka kotak rokoknya, bersiap untuk menyesal batang nikotin.
"Aku mengenal Mew, sahamnya terus naik dan menggeser nama perusahaan-perusahaan lain, termasuk perusahaan keluarga ku." sambung orang itu setelah asap mengebul dari mulutnya.
"Aku memberinya nomormu kemarin, dia memintanya dengan imbalan kerjasama. Kesepakatan itu sangat sulit didapatkan, bahkan meskipun aku dan ayahku menemuinya di perusahaannya, belum tentu kami akan mendapatkan tawaran sebagus itu. Lalu dia memberiku kesempatan hanya dengan memberikan nomormu padanya, jadi ku pikir kalian punya hubungan spesial."
"Aku bisa menuntutmu karena penyebaran data pribadi tanpa izin," sarkas Gulf.
"Hahaha, karena itulah aku menemui mu sekarang. Aku meminta izin," ucap Joy seraya mematikan puntung rokoknya.
Tak lama setelah jeda percakapan mereka, smartphone Gulf berdering, sebuah panggilan tanpa nama. Gulf melirik laki-laki di sampingnya, pria itu hanya tersenyum seraya mengangkat sebelah alisnya.
"Angkat! Mungkin segudang uang sedang menunggumu," ucapnya.
Gulf berdecak malas sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu, benar saja, itu adalah Mew. Sapaan hangat Mew membuat Gulf terdiam sejenak, haruskah mereka kembali bercakap meskipun tak seharusnya mereka saling tatap.
"Terimakasih banyak karena mengangkat panggilanku," ucap Mew.
"Hm, ada apa?" sahut Gulf singkat.
"Aku ... bisakah kita bertemu, maksudku ...."
"Aku di bar, kau harus mengantri jika mau. Kau tau kan? Aku pekerja profesional." Gulf mengeluarkan kalimat itu dengan sangat tenang, seakan ia tak tau bahwa ia menghadapi perasaan yang sangat tulus.
"Gulf, aku tau kau tak pernah melakukan itu. Kau tak akan melakukannya dengan orang lain, aku mempercayaimu. Tidak perlu berbohong padaku," ucap Mew. Dari suaranya, Mew jelas menahan rasa kecewa.
"Aku tak peduli, kau tak percaya juga tak masalah untukku."
"Daddy," samar terdengar suara gemas Alex yang menyapa sang daddy. Sudah cukup larut, kenapa bocah itu belum tidur?
"Daddy bicala dengan siapa?" Gulf terdiam membisu, mulutnya tak lagi berucap, hanya telinganya yang jeli mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut putranya. Seandainya tak serumit ini, Gulf pasti tengah memeluk tubuh mungil itu agar membuatnya tidur dengan nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...