Gulf membuka pintu apartemennya, Tay tengah duduk di sofa bersama secangkir teh di atas meja kaca berbentuk lingkaran dan majalah harian ditangannya. Pria itu menoleh ke arah Gulf yang berdiri di ambang pintu, waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, sudah sangat terlambat untuk Gulf pulang.
Pria berambut pirang itu menutup kembali pintu apartemennya setelah melangkah memasuki ruangan, ia melangkah pelan menuju ke meja kecil yang ada di samping kasurnya, perlahan ia membuka laci dan meletakkan cek kosong pemberian Alex kedalamnya.
Indra penglihatan Tay masih betah memperhatikan gerak-gerik teman sekamarnya yang terlihat sedikit tak bersemangat, apakah pria itu banyak pekerjaan hingga harus lembur? Biasanya akan ada sepatah atau dua patah kata yang terucap dari mulutnya untuk Tay sebagai basa basi.
Gulf mulai melepaskan satu persatu dari kancing kemeja yang ia kenakan, memperlihatkan badannya yang putih pada Tay, teman sekamarnya. Ini bukan hal yang aneh, mereka adalah teman sekamar sejak lama. Lagipula Tay adalah straight, setidaknya itulah yang diketahui oleh seorang Kana.
Tay mulai mengernyitkan dahinya saat mendapati bagian kulit yang memerah di leher dan dada teman sekamarnya, ia tau betul bahwa Kana tak mungkin membiarkan orang lain membuat kissmark di tubuhnya, sekalipun itu dibayar dengan harga yang tinggi. Mungkinkah pria itu memakan sesuatu yang salah? Tapi bercaknya tak merata.
"Kana, kenapa badanmu merah?"
Gulf melirik dadanya, kemudian ia tersenyum setelah duduk bersandar di atas kasur. "Seperti apa yang kau lihat, hahaha."
"Kau baru pulang? Apa barnya ramai?" tanya Tay pada sosok yang seakan dipaksa tertawa.
"Ia, sangat ramai sampai kepalaku hampir meletus saat menanganinya."
"Jangan bekerja terlalu keras, Kana. Berikan waktu untuk tubuhmu beristirahat, atur juga pola makanmu."
"Aku tau Tay, terimakasih banyak karena selalu mengingatkan aku." Kana turun dari ranjangnya, berjalan menuju ke lemari pakaian dan meraih sebuah kaos berwarna abu-abu lalu mengenakannya.
"Kau sangat kurus, Kana. Jangan meminum terlalu banyak alkohol, kau mungkin bisa menahannya, tapi bagaimana dengan organ tubuhmu? Pikirkan itu!"
Kana tertunduk, kini ia bersandar pada lemari, memperhatikan ujung jari kakinya yang sedikit merah karena kulitnya yang putih membuat pembuluh darah terlihat jelas.
Gulf menerawang jauh kebelakang, menjelajahi kembali bagaimana waktu-waktu yang telah ia habiskan bersama Mew. Semuanya berlalu cepat, tak sampai bertahun-tahun. Tapi kenapa Gulf tak mampu melupakannya padahal enam tahun telah berlalu?
Gulf masih bisa mengingat dengan jelas kejadian dimana ia harus menangis meraung didepan ruang ICU, lalu kembali menangis di pemakaman kedua orangtuanya. Tak ada satupun yang memberikan simpati kepada anak tunggal yang manja, semua orang mengira anak itu adalah penyebab dari kematian kedua orangtuanya. Tak ada yang bisa memahami bahwa remaja berseragam putih abu-abu itu sangat terluka, ia sendirian, tak ada yang memeluknya atau mengucapkan bela sungkawa. Alam semesta seakan mendukung penuh penderitaan yang menghadangnya.
Harapan terakhir remaja malang itu benar-benar terenggut habis ketika sang paman memilih untuk menarik pelatuk besi dan membiarkan kepalanya diterjang oleh peluru, tergeletak tak bernyawa sesaat setelah bunyi nyaring. Kematian beruntun menghiasi hari-hari Kana. Seakan tak cukup, Kana mulai mengusut sendiri penyebab kematian keluarganya.
"Maaf, kami tidak bisa menyelidiki ini tanpa surat izin."
"Kami sudah menutup ini sebagai kasus tunggal."
"Untuk apa penyelidikan? Kau ingin kami membuang-buang waktu untuk sebuah kasus kecelakaan tunggal?"
"Ayahmu menyetir dengan ugal-ugalan, dia bahkan tidak menggunakan sabuk pengaman. Masih untung mereka tidak masuk ke dalam jurang dan menghambat evakuasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...