Mew duduk di kursi yang terletak di pinggir kolam renang, matahari sudah meninggi tapi cahayanya tak mampu menerangi Mew. Kehadiran Gulf kembali seharusnya membahagiakan, tapi kenapa Mew justru merasa semakin kosong? Apakah perbuatan Mew memang benar-benar tak pantas dimaafkan hingga Gulf sebegitu inginnya untuk membalas Mew dengan mengorbankan dirinya sendiri?
Hamparan taman bunga luas yang ada di kediaman keluarga Suppasit menjadi layu beberapa tahun belakangan, dan kini, semua bunga itu benar-benar hampir mati. Ada begitu banyak orang yang merawat taman itu, tapi semuanya tak mampu menghidupkan kembali taman yang pernah indah mempesona.
"Mew," sapa Rico. Pria tua itu menghampiri putranya yang melamun hampir seharian, Mew bahkan tidak pergi ke kantor dan membiarkan Alex sarapan tanpa dirinya. Mew tau ini salah, tapi Gulf benar-benar berpengaruh dalam hidupnya.
"Ayah," balas Mew yang kini tersenyum tipis.
"Kenapa duduk disini? Panas," ucap Rico yang menatap peluh di dahi Mew.
Mew menatap langit sejenak, cahaya matahari begitu menyilaukan mata. Ia menyeka peluhnya dan tertawa kecil, ia bahkan tak menyadari bahwa dirinya hampir terbakar karena terlalu lama berada di bawah terik matahari. "Aku menghangatkan badan," pungkas Mew.
"Menghangatkan badan itu pagi, kalau siang itu namanya berjemur. Masuk, bukannya sehat nanti kamu malah sakit." Rico menepuk bahu Mew pelan, pria tua itu tidak mengerti tentang penderitaan Mew. Luka yang mengurung putranya hingga bertahun-tahun, kesalahannya yang diakibatkan oleh keegoisannya memenjarakan putranya dalam jeruji lara. Seandainya bisa diulang, Rico seharusnya memilih untuk melepaskan ketenarannya jika saja ia tau bahwa harganya adalah kebahagiaan Mew, begitu mahal.
"Sudah bertemu Gulf kan? Setidaknya kau sudah tau kalau dia baik-baik saja, kurangi sedikit kecemasan mu nak." Rico mengelus pundak putranya, berharap derita itu akan sedikit berkurang.
"Ayah, aku senang melihatnya. Tapi dia tidak baik-baik saja," ucap Mew pelan.
"Mew, ayah tidak tau masalah apa yang membatasi kalian. Tapi kau harus menyelesaikannya dengan kepala dingin agar dapat berhati-hati, jangan membuat dirimu terpuruk. Kasihan Alex," ucap pria tua itu.
"Alex?" tanya Mew. Ia baru menyadari bahwa sedari pagi ia belum menemui Alex, bagaimana kabar pangerannya hari ini? Sudahkah Alex makan, atau dia menangis?
"Mew, kamu sama sekali tidak salah karena memikirkan Gulf. Tapi kamu salah jika mengabaikan anak kalian, apa kamu pikir Gulf tidak akan terluka jika anak kalian tidak dibesarkan dengan kasih sayang yang cukup, hm? Pergi temui Alex."
"Ayah, apa Gulf masih bisa kembali? Apa aku masih punya harapan?" tanya Mew, matanya menatap air kolam yang tenang. Entah kenapa kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Pasti, Mew. Dia pasti kembali, jika kau yakin bahwa perasaan kalian masih sama. Kepercayaan adalah kunci sebuah hubungan, tak peduli sejujur apapun pasanganmu, jika kau tidak mempercayainya maka akan sangat sulit."
"Aku sudah bertahan sejauh ini, aku tidak boleh menyerah kan?"
"Iya, nak. Bertahanlah sebentar lagi, tidak ada usaha yang tidak membuahkan hasil."
"Tidak akan ada yang sia-sia kan? Gulf akan kembali padaku kan? Aku hanya perlu bersabar sebentar lagi kan?" tanya Mew seolah ia sangat memerlukan dorongan kepercayaan dari Rico.
"Iya Mew, hanya sebentar lagi nak. Percaya pada ayah."
"Aku sudah melihatnya berjalan ke arahku, dia tidak akan menemukan jalan lain selain ke arahku kan? Aku adalah rumahnya kan yah?" tanya Mew, matanya yang berkaca-kaca menatap Rico penuh harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...