12•

1.9K 253 29
                                    

Tay menatap Mew yang berhasil merebut pistol darinya. Sial, pikir Tay. Kenapa ia harus membawa pistol kedalam situasi seperti ini? Akankah terjadi pembunuhan?

Mew mendekati Gulf dengan langkah gontainya, ia menggenggam tangan Gulf dengan erat dan meletakkan pistol itu ditangan Gulf. Mew mengarahkan pistol yang kini ada ditangan Gulf untuk membidik kepala Mew, perlakuan Gulf benar-benar membuat Mew memilih opsi mati dibandingkan harus melihat Gulf bersama orang lain sekali lagi.

Gulf mulai gemetar ketika tangan Mew yang dingin menyentuh dan menuntun tangannya untuk mengarah ke kepala Mew, Gulf tidak menginginkan Mew, tapi Gulf tak bisa mengusir Mew dari pikirannya.

"Maaf, apa yang kau lakukan?" tanya Tay.

"Hiks ... Gulf. Tembak saja jika kau memang menginginkan aku mati, aku hanya ingin kau tau bahwa dunia yang ku tinggali begitu sepi, tidak ada artinya.

Bunga yang kau tanam di taman layu, maaf jika aku egois, karena aku menginginkanmu hidup dan menua bersamaku, aku ingin kita tetap mengingat kehidupan kita yang hangat.

Aku ingin kau bahagia, Gulf. Hiks ... aku tak bisa melupakan apapun, kakiku terus bergerak ke arahmu. Menatapmu membuat jantungku berdegup kencang, meskipun aku cemburu, aku tetap akan menganggapnya sebagai kenangan indah darimu untukku.

Bertemulah denganku dikehidupan selanjutnya, ayo bahagia bersama."

"Apa maksudmu? Lepaskan tanganku, sebelum aku benar-benar akan menembak mu." Gulf hanya berucap datar dan tak berusaha melepaskan tangannya.

"Apa bedanya? Aku tidak takut mati jika itu untuk kebahagiaan mu, aku memang tak pernah hidup selama ini Gulf. Aku tidak tau kenapa ini begitu sulit.

Apa kau tau? Hiks ... aku tidak bisa tidur atau memakan apapun. Melihatmu membuatku bahagia tapi menghancurkan hatiku. Aku terus mengharapkan mu untuk kembali walaupun aku tau itu sulit dan aku masih berfikir bahwa kau akan kembali, aku tidak bisa mengusir pikiran itu. Aku tidak bisa melepaskan mu."

Gulf terdiam, haruskah ia tarik pelatuk besi ini? Jika ya maka Mew akan mati, dan segalanya usai, begitu pula dengan kisahnya dengan Mew. Apakah Gulf siap jika Mew mati? Bagaimana dengan hatinya? Apakah itu akan baik-baik saja? Gulf terus berdebat dengan perasaannya, hatinya meminta agar Gulf memeluk Mew lalu menerima permintaan maaf, tapi pikiran Gulf menolak logika itu.

Mew yang sudah larut dalam tangisnya jatuh berlutut ke aspal bersama dengan pistol yang terlepas dari tangan Gulf, isak tangis penyesalan Mew terdengar begitu memilukan. Tay bahkan tak mampu lagi berkata-kata, jika Mew benar-benar mencintai Gulf separah ini, kenapa Gulf meninggalkannya?

"Tidakkah kau melihatku sebagai orang yang paling bodoh, Gulf? Aku mengirim pesan padamu setiap hari selama enam tahun, padahal aku tau smartphone milikmu tersimpan di kamar kita. Hiks ....

Aku menyalahkan semua orang atas kepergian mu, aku memecat dokter-dokter itu, perawat, semuanya. Aku kehilangan akal, Gulf. Hiks ....

Aku menceritakan semua yang aku lakukan pada dirimu yang tersenyum dibalik bingkai foto, aku terus meminta maaf pada setiap sudut ruangan yang menghadirkan bayanganmu. Aku melihatmu dimana-mana, hanya aku yang bisa melihat mu. Hiks ....

Aku pergi ke dokter, mereka memintaku meminum obat. Aku tidak bisa menelannya Gulf, aku tidak akan melihatmu jika aku meminum obat-obat itu.

Kembalilah Gulf, aku dan Alex menunggumu. Kami memerlukan mu, aku mohon." Mew berucap pelan, ia tak lagi punya tenaga yang cukup untuk membujuk Gulf.

"Tay, ayo pulang." Gulf berbalik ke arah Tay tanpa menghiraukan Mew. Bodohnya Mew hanya bisa diam dan sama sekali tak melarang Gulf pergi, Mew benar-benar dihancurkan oleh keadaan. Perasaannya dipermainkan oleh semesta yang selalu melilitnya dengan jaring siksa lara.

IGNITI2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang