Menentukan pilihan terkadang lebih sulit daripada menerima takdir.
Ketika takdir menghampiri, sekalipun itu mengharuskan untuk menangis atau terluka, tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima.
Tapi ketika harus menentukan pilihan, menangis mungkin hanya kemungkinan terkecil. Apa kemungkinan terbesarnya? Diri sendiri yang terus menerus disalahkan.
Kau tau dimana bagain terburuknya? Hati dan pikiran mu secara bersamaan akan berkata bahwa kau bodoh karena salah memilih keputusan.
Namanya pun hanya cerita, ditemukannya berkas asli justru membuat Gulf kembali menjadi diri sendiri. Sejak saat itu ia memilih untuk melupakan kisah masa lalunya sebagai Gulf Kanawut, ia hanya mengingat satu hal sebagai identitasnya, istri dari Mew dan ibu dari Alex. Entah itu Suppasit atau Kanawut, Gulf akan tetap menjaga Mew dan Alex sebagai satu-satunya keluarga yang ia punya.
Mew hanyalah anak malang yang ada karena kehausan harta oleh keluarga Suppasit, begitu juga degan Alex. Namun Alex jauh lebih beruntung karena masih bisa dirawat dengan penuh kasih oleh kedua orangtuanya.
Rumitnya perjalanan mengajarkan Mew dan Gulf tentang betapa orang-orang disekitar mereka tidak dapat dipercaya, yang dilihat baik belum tentu mulia. Hingga liku itu mengantar mereka pada kepercayaan ini, tak ada yang bisa diandalkan selain satu sama lain antara Gulf dan juga Mew.
"Selamat makan, sayang." Gulf meletakkan sepiring nasi goreng dihadapan Mew, ia juga telah menyiapkan sandwich dan susu untuk putra tercintanya.
Pemandangan seperti ini tak lagi asing dikediaman mereka, Siri dan pelayang lainnya beralih tugas untuk menjaga kerapian dan kebersihan rumah. Sementara kenyamanan Alex dan Mew menjadi tanggungjawab Gulf secara penuh.
"Daddy, Alex ingin itu." Alex yang baru datang kemeja makan tiba-tiba membuka mulut, meminta Mew untuk memasukkan setidaknya sesendok nasi goreng kedalam mulutnya. Awalnya Mew ragu, tapi karena Gulf sedang pergi mengambil air minum, Mew akhirnya menyuapi Alex.
"Huek." Alex langsung memuntahkan nasi gorengnya ke telapak tangan bahkan sebelum ia sempat mengunyahnya, bukan tanpa alasan. Pertama, nasi goreng itu sangat asin. Kedua, Alex tidak tau kalau itu masakan Gulf karena biasanya Gulf hanya memasak telur untuk Mew.
"Kenapa dimuntahkan? Itu masakan papa," bisik Mew pada Alex.
"Masakan papa?" tanya Alex. Bocah itu kembali memasukkan Masi goreng yang ada ditangannya kedalam mulut dan segera mengunyah lalu menelannya sebelum Gulf melihatnya, sebenarnya Gulf tidak akan marah, tapi Alex tidak ingin papanya tersinggung dan berkecil hati.
Gulf kembali ke meja makan setelah melepaskan celemeknya dan membawa segelas air putih untuk Mew. "Hah? Anak papa sudah siap? Ganteng sekali, siapa yang memasangkan seragamnya?" tanya Gulf dengan penuh gemas.
"Sili, papa."
Mendengar jawaban Alex jelas membuat Gulf sedikit kecewa, Alex sudah mahir mengancing seragamnya sendiri. Tapi ia terkadang malas dan masih mengandalkan Siri jika Gulf lengah, alasannya adalah karena Siri bekerja dirumah mereka, Mew membayar mereka. Alex juga tidak segan mengatakan bahwa Siri adalah pembantu, jadi sudah tugasnya untuk membantu. Gulf tau, Alex mungkin sangat amat terbiasa dengan segala jenis kemewahan dan kenyamanan yang disediakan Mew untuk memfasilitasinya. Tapi bukan keadaan seperti ini yang Gulf harapkan, Gulf tidak ingin Alex tumbuh dengan kebiasaan yang salah.
"Dibantu kak Siri, ya?" tanya Gulf.
Alex menepuk jidat seraya tersenyum. "Iya, Alex lupa. Kak Sili," ucap Alex lagi. Gulf sudah memberikan ketetapan baru untuk Alex, dimana Alex harus dan wajib untuk memanggil siapapun yang lebih tua dengan sebutan yang pantas.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITI2
FanfictionAku pernah terpuruk dalam kegelapan, lalu kau hadir sebagai lilin dengan setitik cahaya, rela terbakar hanya untuk menerangi jalanku. Entah aku bodoh atau kau yang terlalui cerdas, aku menerimamu dan menggenggammu - lilinku, dengan sangat erat. Terl...