4 : 1

31.8K 2.7K 128
                                    

"Tenang, Za." Panji menggegam erat kedua tangan Cadenza yang menggenggam erat.

"Gue takut...... Gue takut ditinggalin lagi.." cicit Cadenza tanpa menatap wajah Panji. Pandangan gadis itu menunduk takut.

"Nggak akan, percaya sama gue," sarkas Panji. Bisa ia rasakan tubuh gadis itu bergetar hebat. Nafas yang menderu tidak beraturan menunggu Raynar yang tengah di tangani oleh pihak rumah sakit.

Di sisi lain, Raina yang juga menangis diperlukan Dimas. Gadis itu tidak kuat melihat saudara kembarnya itu dengan keadaan yang sangat kacau. Rasa seperti ia juga terluka saat melihat keadaan Raynar itu.

"Bangsat! Gue abisin kalau tuh anjing ketemu!" Umpat Ikhsan geram. Cowok itu berjalan mondar mandir sesekali melihat Raynar dari kaca pintu.

Berbeda dengan Riski ia hanya duduk diam tapi kedua tangannya mengepal kuat. Mengeram marah ingin sekali ia membalas perbuatan Dika saat ini juga. Namun ini buat saatnya untuk itu, yang terpenting saat ini adalah keadaan Raynar.

Mereka semua masih mengingat disaat Cadenza menelpon Panji dengan isak tangis. Mereka yang mendapatkan kabar yang tidak buruk dari gadis itu langsung meluncur ke TKP. Disaat itu mereka syok melihat keadaan Raynar yang berbaring dipangkuan Cadenza dengan banyak darah di daerah mulut.

Keenam remaja itu buru buru menghampiri dokter yang baru keluar dari ruangan rawat Raynar.

"Gimana keadaan adik saya dok?" Tanya Raina.

"Keadaannya Alhamdulillah sudah membaik, hanya luka dalam yang tidak terlalu serius. Dan kini ia sudah sadar," jelas dokter membuat yang lain langsung bernafas lega mendengarnya.

"Boleh kami masuk dok?" Tanya Raina yang sudah tersenyum bahagia.

"Maaf.." dokter melihat satu persatu keenam remaja itu."Yang namanya, Enza mana? Pasien meminta dia masuk, hanya dia."

Mendengar hal itu membuat yang lainya mengeram kesal. Padahal mereka sudah dari tadi cemas memikirkan keadaan Raynar. Namun cowok itu yang ia ingat hanya Cadenza. Walaupun begitu mereka juga tidak marah, yang terpenting bagi mereka adalah keadaan Raynar sudah baik baik saja.

Cadenza perlahan masuk kedalam ruangan Raynar. Gadis itu melihat Raynar berbaring melihat dirinya sambil tersenyum. Ia menangis saat itu juga. Ia diam membeku saat berdiri tepat disamping ranjang cowok itu.

"Hei, kenapa nangis?" Raynar perlahan duduk seraya menahan perutnya yang terasa ngilu. Cowok itu menarik Cadenza agar duduk disampingnya.

"Makasih," lirih Raynar seraya mengusap kedua pipi Cadenza.

Cadenza sama sekali tidak mengerti apa maksud ucapan terima kasih itu. Harusnya ia lah yang mengucapkan terima kasih bukan Raynar. Ia hanya diam sambil terus menangis namun tatapannya meminta jawaban kepada Raynar.

"Makasih, buat pelukannya. Itu pelukan pertama..... Dari lo," ungkap Raynar tersenyum tipis mengingat pelukan yang Cadenza lakukan sebelum ia pingsan tadi. Wajahnya memang tersenyum tapi tubuhnya meringis kesakitan.

Tangisan Cadenza pecah lalu memeluk tubuh cowok itu depan erat.  Ia menumpahkan tangisannya itu di dada bidang milik Raynar. Apakah begitu berharganya pelukannya itu sampai sampai keadaan yang sangatlah mengenaskan padanya tidak difikirkan oleh cowok itu.

"Jangan nangis, Za. Gue gak kuat dengarnya." Raynar mengusap rambut belakang Cadenza. Cowok itu kembali bahagia karna mendapatkan  pelukan kedua dari gadis yang ia cintai. Hampir sebulan mencintai gadis ini barulah ia mendapatkan apa yang ia tunggu-tunggu. Ciuman sudah, pelukan juga sudah. Hanya kata cinta dari gadis itu yang belum ia dapatkan. Selama ini hanya dia yang memeluk dan mencium gadis itu. Tapi sekarang dia sudah mendapatkannya.

RAYNAR ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang