2 : 4

36.9K 3.2K 103
                                    

Sedari tadi Cadenza selalu mencibir ucapan yang dilontarkan oleh Caera sambil menyuapi tiap sendok makan malamnya. Kakaknya memang pandai betul membuat dirinya sakit hati. Setiap kata yang diucapkan Caera selalu saja menyebutkan kelebihan Arik setelah berpacaran dengannya. Arik banyak berubah, nilainya selalu meningkat karna selalu Caera support. Padahal bagi Cadenza itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya, nilai dan pencapaian itu hasil dari kerja keras sendiri.

"Bunda," panggil Cadenza sedikit menaikan nada bicaranya agar mahluk disampingnya ini berhenti bicara.

"Apa, Dek?" Tanya Liza menghentikan acara makanya."Adek mau nambah makanannya?" Terkah liza.

Cadenza menggeleng."Bunda, Enza, mau muntah," jawab Cadenza melirik sinis Caera.

"Kenapa lo mau muntah?" Tanya Caera juga melirik sinis adiknya."Hamil lo?"

Sendok makan langsung menempel di pipi kiri Caera dan pelakunya adalah Liza."Nggak boleh gitu ngomongnya! Hamil hamil! Masih kecil udah ngomong itu!" Tegur Liza.

Caera mendengus mengusap pipinya kesal."Sakit, bunda," adu Caera."Enza, tadi dia bilang mau muntah, makanya aku kira dia hamil."

"Tapi nggak boleh ngomong gitu, nanti kalau orang lain ngiranya beneran, gimana?" Balas Liza.

"Maaf bunda." Caera menunduk sedih didepan sang bunda, tapi saat bundanya tidak melihatnya lagi gadis itu melirik kearah Cadenza yang tengah menahan tawa. Membuat darahnya seketika naik.

"Enza, seminggu lagi mau ulang tahun kan?" Cadenza menoleh kerah Dirga."Mau kado apa dari papa?" Dirga tersenyum lebar ke Cadenza.

Cadenza memilih meminum segelas air, gadis itu menjilat bibirnya kemudian bangkit berdiri."Nggak mau apa pun!" Jawab Cadenza ketus, gadis itu melangkah pergi tanpa melihat lagi kearah keluarganya.

Dirga sedikit merasa kecewa dengan respon anak yang ia sudah anggap sebagai anak kandungnya itu. Niatnya baik untuk menyenangkan hati gadis itu, tapi sepertinya sia sia saja. Hampir sebulan Cadenza tinggal dirumahnya, pria selalu berlaku baik bahkan beberapa kali mengambil hatinya tapi tidak ada respon baik yang diterima Dirga selama ini dari Cadenza.

"Mungkin dia masih_"

"Nggak papa, Bun. Papa ngerti kok," serobot Dirga saat mengetahui kelanjutan perkataan yang akan dikatakan istrinya. Perkataan yang sering ia dengar selama ini. Pria itu tentu saja memaklumi gadis itu, marah dan tersinggung pasti pernah ia rasakan tapi ia berusaha sabar.

Cadenza menyadarkan punggungnya di ranjang sambil memeluk biolanya. Gadis itu sedang memikirkan Raynar. Ia sangat merasa bersalah pada cowok itu. Bisa bisanya saat bersamanya tadi, ia malah menyebut nama cowok lain.

Saat itu juga, tidak ada perkataan yang dilontarkan Raynar lagi padanya saat di perjalanan pulang. Tapi yang membuat Cadenza heran, cowok itu tidak ada menunjukkan raut wajah marah. Malah ia sempat mencium keningnya tadi saat berada didepan rumah. Satu kalimat yang diucapkan cowok itu saat setelah mencium dirinya, masih terngiang-ngiang di pikirannya

"Mampir di mimpi gue, Za, kalau nggak gue bakal galau sepanjang malam."

"AKHHH, puyeng gue!" Gerutu Cadenza mengusap kasar wajahnya. Ia meletakkan biolanya diatas meja samping ranjang.

Tok tok tok

"Keluar," jawab Cadenza saat mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Ia menghela nafas kasarnya saat melihat penampakan seseorang yang ia tidak harapkan muncul saat ini.

"Pr lo udah siap?" Tanya Caera setelah duduk disamping Cadenza.

"Udah," jawab Cadenza kemudian bergerak mengambil buku di laci meja belajar. Setelah ia duduk kembali lalu melemparkan buku itu ke paha Caera.

RAYNAR ( Selesai )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang