19. ANGGARA

1.3K 57 4
                                    

Gara langsung menuju rumah sakit setelah mendapat informasi dari Miko, kali ini ia tidak kabur, tapi izin untuk ke rumah sakit dengan alasan keluarganya ada yang sakit.

Walau awalnya harus berdebat dulu dengan Bu Patri yang tidak percaya begitu saja, akhirnya tetap mendapat izin setelah dapat bantuan dari Benua yang merupakan salah satu anak murid kesayangan Bu Patri.

Sekarang Gara berdiri di depan pintu putih sebuah ruang rawat, keringat membasahi wajah tampan cowok itu karena berlari dari tempat parkir di lantai bawah sampai ke lantai 3. Si Gara yang tidak sabaran ini bahkan tidak mau menunggu lift turun dan memilih lewat tangga darurat.

Lengan Gara terulur meraih knop pintu, sebelum memutarnya, Gara sempat menarik napas. Ia tidak boleh terlihat kacau di depan Audrey atau cewek itu akan bertanya yang tidak-tidak. Misalnya, kenapa Gara mau buang-buang waktu untuk langsung menemuinya bahkan lari-lari hingga napas ngos-ngosan seeperti itu?

Gara berpikir, apa yang sedang cewek itu lakukan sekarang? Seberapa parah lukanya? Kecelakaan seperti apa yang menimpanya sampai harus dirawat seperti ini?

Knop pintu berwarna silver itu akhirnya bergerak, Gara mendorong pelan pintu di depannya sambil terus membuat spekulasi di kepala. Menebak reaksi cewek itu melihat kemunculannya di sini padahal masih jam sekolah.

"A--"

Gara berhenti padahal belum sepenuhnya masuk ke ruangan, ia langsung mundur sambil menarik pintu putih itu perlahan, lalu kembali menutupnya dengan benar. Tatapannya lurus seolah bisa menerawang apa yang baru saja ia lihat.

Pertanyaan-pertanyaan di kepala Gara yang berhubungan dengan kecelakaan dan kondisi Audrey langsung menghilang, berganti dengan sebuah pertanyaan yang membuat kedua tangannya terkepal.

Cowok itu siapa?

.
.
.
.
.

Samudra menarik dirinya yang semula membungkuk ke arah Audrey, cewek itu mengerjap dua kali dengan mata kanan yang memerah. Samudra tadi membantu meniup mata kanan Audrey yang kelilipan debu dari kotak album yang ia bawa ke sini.

"Sorry, Drey, gue bener-bener nggak tau kalau dalamnya berdebu banget," kata Samudra, merasa bersalah.

Audrey mengerjap lagi, lalu melirik Samudra sekilas. "Nggak usah minta maaf, gue aja yang nggak sabaran jadi nggak inget kalau ini benda lama,"

"Kotak ini emang lama nggak gue buka," kata Samudra. "Gue nggak berani."

Audrey langsung menatap cowok itu, ketara sekali perubahan di sorot matanya. Dari cara Samudra berbicara yang lirih di akhir saja Audrey sudah tahu apa yang cowok itu rasakan sekarang.

Karena Audrey juga merasakannya.

"Sini gue bersihin dulu." Samudra mengambil alih kotak itu dari pangkuan Audrey, lalu menjauh ke arah jendela untuk membersihkannya dengan tisu di atas meja.

"Gue udah seneng lo bawain itu ke sini, rasanya badan gue langsung enakan,"

Samudra melirik sekilas sebelum kembali fokus pada kotak di tangannya. "Lo inget nggak kalau ini udah kayak ritual kita bertiga setiap ada yang sakit?"

Audrey ingat, sangat ingat, membuat kedua sudut bibirnya tertarik. Ada rasa senang dan sesak yang bersamaan mengisi rongga dadanya.

"Kalau salah satu dari kita sakit, terus yang dua datang buat jenguk, pasti auto sembuh," kata Audrey, lalu terkekeh parau.

Samudra ikut tertawa pelan walau ia juga merasakan sesak yang sama. "Waktu Geri kena gejala tipes, kita pulang sekolah langsung ke rumahnya. Kata Mamanya dia murung banget karena gerak dikit udah pusing, eh pas kita datang malah ngajak main basket."

ANGGARA [SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang