"Gue bilang bisa pergi sendiri, lo ngeyel banget sih!"
Gara menulikan telinga, cowok itu bersikeras mengantar Audrey yang katanya ingin nyekar ke makam seseorang.
"Lo masih sakit, Anggara!"
Gara selesai memakai jaketnya, lalu menatap Audrey. "Gue nggak suka tempat ini, bikin tambah sakit," kata Gara. "Lagian kalau Papa tau gue dirawat, pasti dipikir gue ribut lagi terus masa tahanan gue diperpanjang. Enggak ah."
Audrey menghela napas, percuma debat dengan seorang Brasthan Anggara. Ia pasti kalah.
"Ayo."
Gara menarik lengan Audrey keluar dari ruang rawat, ia sudah menyelesaikan semua bahkan administrasi bahkan sudah mengabari teman-temannya akan langsung pulang sore ini.
Audrey hanya menurut dan diam saja sampai mereka tiba di halaman depan, Gara memesan taksi karena motornya ada di markas.
"Ke TPU mana?"
Audrey menunjukkan jalan, lalu keduanya diam lagi. Sekarang sudah pukul empat sore dan Audrey masih memakai seragam sekolah padahal tadi bolos. Bunda Irma pasti akan mengomel kalau tahu Audrey tidak masuk kelas tanpa surat izin.
"Kalau lo bingung masalah surat absen, tenang aja. Udah gue urus kayak waktu itu," ujar Gara.
Audrey memutar kepala menatapnya. "Miko lagi?"
Gara tersenyum sambil memainkan alisnya, membuat Audrey mendengus. Melarangpun percuma, karena Gara suka mengambil keputusan seenaknya tanpa memberitahu Audrey.
"Kenapa bisa begini?" tanya Audrey, pertanyaan yang ia tahan sejak tadi karena tidak ia tahu Gara tidak mau bercerita di depan Anggi.
"Bisa, apa sih yang enggak gue bisa?"
"Gue serius, Ga!"
"Mau banget gue seriusin?" tanya Gara. "Iya, iya, jangan melotot gitu."
Gara terkekeh. "Ada yang dendam sama gue, kemarin kebetulan gue di markas sendiri. Ya, gitu," jelasnya, lalu mengedikan bahu.
"Kenapa lo biarin dia mukul?" tanya Audrey, ingat bahwa seorang Anggara tidak pernah memberi kesempatan lawannya untuk membalas.
"Karena lagi apes kali," jawab Gara. "Gue juga nggak mood ribut."
"Membela diri nggak harus nunggu ada mood, Anggara." Audrey menekankan. "Lo bisa mati kalau situasi mengancam malah lo anggap main-main."
Gara menatap Audrey, menelisik. Cewek itu sangat serius mengatakannya. Selain raut serius, Gara juga melihat sorot mata lain.
Audrey khawatir padanya.
"Iya, maaf," ujar Gara. "Makasih udah khawatir."
"Enggak perlu khawatir." Audrey membuang muka. "Bersyukur lo masih beruntung dan diberi hidup,"
Audrey menatap kosong ke luar jendela. "Karena ada orang nggak bersalah yang nggak beruntung menghadapi kejadian kayak lo."
...
...
...
...
..."Geri, ya?" tebak Gara saat mereka berjalan di jalan setapak sebuah TPU. "Orang yang bikin lo benci gue?"
Audrey hanya melirik Gara sekilas, namun tidak ada niat untuk menjawab pertanyaannya.
"Sekarang masih benci?"
"Bisa diem nggak?" Audrey melotot, membuat Gara reflek mengangkat kedua tangan sambil nyengir.
Keduanya sampai di depan makam Geri, sesuai tebakan Gara. Audrey meletakkan bunga ikat yang sempat ia beli, lalu menunduk, berdoa.
Gara ikut duduk jongkok di sebelah Audrey dan mengirimkan doa untuk cowok bernama Geri itu. Walaupun ia tidak tahu siapa Geri, tapi sepertinya Geri merupakan sosok yang spesial untuk Audrey.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA [SELESAI]✔
Novela JuvenilGara benci ditentang dan dihalangi, tapi ada satu cewek yang tiba-tiba dengan berani menentangnya. Berbagai masalah muncul dan mengharuskan mereka terus terlibat. Apakah rasa benci Gara akan berubah? Sebenarnya siapa cewek itu? Kenapa begitu membenc...