53. ANGGARA

1.1K 58 0
                                    

"Kamu serius dengan ucapan kamu tadi, Angga? Main basket lagi?"

Gara mengangguk mantap mendengar pertanyaan dari Papanya yang meragukan keputusan Gara untuk bermain basket lagi.

"Karena apa?"

"Enggak ada alasan, Pa. Angga cuma mau basket lagi, Papa kan tau kalau Angga suka basket sejak dulu."

"Suka sampai kejadian itu. Setelahnya kamu tidak mau berurusan dengan apa pun yang menyangkut basket. Bahkan nonton pertandingan Adik kamu saja tidak pernah. " Ages mengingatkan Gara saat cowok itu selalu menolak menghadiri turnamen basket yang diikuti Anggi.

Beruntungnya Anggi mengerti keadaan Gara, Kakaknya itu sudah melepas semua hal tentang basket sejak kejadian yang membuat mereka harus kehilangan sosok Ibu untuk selamanya.

Gara menunduk, hanya di depan sang Papa Gara mau seperti ini. Gara sangat menghormati Papanya, karena hanya Papa dan Anggi yang Gara punya setelah kepergian Mama.

Beruntungnya Gara bertemu dengan para perusuh seperti teman-temannya, perusuh yang membuat dunia abu-abu Gara menjadi lebih berwarna.

Dan lagi, dia bertemu si tukang pukul dari kelas XI IPA3. Orang yang ditantangnya bermain basket walau Gara tahu kemampuan basket orang itu bahkan diakui oleh pelatih basket yang memegang tim perwakilan Provinsi di kancah Nasional.

"Sekali lagi Papa tanya. Keputusan ini benar-benar dari hati kamu, atau paksaan dari seseorang?" Papa bertanya tegas, meminta keseriusan dari Putra sulungnya.

Gara mengangkat wajah, menatap tak kalah tegas pada Sang Papa. Memberi gestur bahwa ucapannya sangat serius dan berasal dari dirinya sendiri, tanpa ada tekanan dari orang lain.

"Angga serius. Angga ingin basket lagi. Walau mungkin nggak bisa sebebas dulu, Angga akan coba."

"Bagus." Papa menepuk pundak Gara tiba-tiba, membuat cowok itu tersentak. Apalagi saat Gara melihat senyum bangga merekah di bibir Papa. "Ini baru Anak Papa. Akhirnya kamu berani melawan rasa takut itu. Tidak seharusnya kamu mengubur apa yang kamu suka sejak lama karena rasa takut."

"Takut?"

Papa mengangguk. "Kamu mungkin selama ini tidak sadar, selalu denial pada satu perasaan itu. Tapi Papa tahu, Angga. Walau mungkin kamu tidak sadar ini, Papa sangat mengerti kamu, karena kamu Putra Papa. Kamu mirip dengan Papa saat muda dulu, Angga."

Kening Gara berkerut, Ages sangat jarang membicarakan tentang masa mudanya. Setiap kali sedang menceramahi Gara, Ages selalu memakai temannya sebagai bentuk perumpamaan. Tapi kali ini, Ages memakai dirinya sendiri.

"Kamu takut kehilangan apa yang kamu sayang lagi, makanya lebih memilih untuk melepasnya, kan?"

Ada satu bagian dari diri Gara yang didorong dan ditekan kuat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Papa. Pria itu menatapnya yakin, seolah percaya diri tebakannya tepat.

Dan memang sangat tepat.

Gara menunduk, sedikit lingkung. Ada perasaan lain menguar dalam dirinya. Beberapa kejadian di masa lalu terulang. Saat betapa bahagianya Gara menikmati permainan basket, bertemu teman baru, lolos seleksi tim perwakilan, terpilih menjadi ketua tim, lalu kabur begitu saja sebelum turnamen dimulai. Semua terputar jelas membuat kepala Gara serasa dipukul dengan benda tumpul.

Berbagai perasaan bersahutan di lubuk hatinya. Bahagia, sedih, kecewa, merasa bersalah, rindu, dan yang paling medominasi adalah takut.

Gara takut kehilangan lagi.

"Angga, dengar Papa. Rasa sedih kehilangan seseorang yang disayang itu wajar, semua orang akan mengalaminya. Tapi jika kamu membenci keadaan yang membuat kamu kehilangan, apalagi mempertahankannya seumur hidup, itu membuat kesedihannya tidak akan hilang."

ANGGARA [SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang