9

9.6K 698 10
                                    

"Apakah kamu akan mengusir suamimu dari rumahnya sendiri hm?"

“Hah?!”

Savera terdiam cengo, ia menatap lurus pada manik mata hitam malam yang dimiliki laki-laki itu. Manik mata yang seolah-olah dapat menenggelamkan dirinya sampai dasar yang paling dalam.

Dengan cepat Savera mengalihkan pandangannya dari mata lelaki tampan itu, ia mengangkat dagunya tinggi dan berkata, "Aku sedang tidak ingin syuting film dan aku tidak pernah mendaftar. Jadi segera hentikan segala macam candaan yang sedang kamu lakukan."

Lelaki itu menggoyangkan gelasnya, menyesap sedikit anggur yang ada di gelasnya.

Lelaki itu berdiri dari kursinya, berjalan mendekat ke arah Savera. Tubuh tinggi tegapnya, dengan dua kancing kemeja yang sengaja dibuka, mempertontonkan hal-hal duniawi yang membuat jiwa Savera meronta-ronta.

Bagaimanapun ia adalah seorang gadis yang sudah berusia cukup matang, mana ada orang yang tidak tergoda melihat pemandangan dada kuat berotot seperti itu.

Astaga, Savera menghembuskan nafas kasar dan kembali melihat wajah tampan lelaki itu.

Savera yang melihat lelaki itu semakin dekat bukannya gugup malah menatap lelaki itu nyalang.

"Apa? Mau apa dekat-dekat?!"

Lelaki itu berhenti, saat ini lelaki itu berdiri dengan jarak 2 langkah dari Savera. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya, menyejajarkan kepalanya dengan Savera.

"Sepertinya seminggu tidak bertemu denganku kamu banyak berubah ya? Bahkan ingin mengusirku dari rumahku sendiri." Lelaki itu menatap Savera dengan senyum dingin di wajahnya.

Savera yang tak tahan menatap manik mata laki-laki itu dari dekat langsung mendorong dahi laki-laki itu untuk menjauh.

"Jangan dekat-dekat denganku sialan!"

"Astaga mataku tidak suci lagi!" Suara yang bergema mengejutkan Vera dan lelaki itu. Alex yang sudah sadar akan kehadiran beberapa orang hanya tersenyum tipis.

"Raven? Kalian sedang apa disini?" Savera membalikkan badan dan terkejut.

Ia mengerutkan kening kenapa remaja laki-laki itu dan teman-temannya ada dirumahnya juga? Apakah Alex sedang melakukan open house tanpa sepengetahuannya?

"A-apakah barusan kalian sedang..." Damian menatap bergantian antara Savera dan laki-laki itu sambil menguncupkan kedua telapak tangannya dan saling disatukan.

Savera yang mengerti bahasa isyarat tangan teman Raven itu melotot ke arahnya dengan garang, "Jangan sembarangan! Apa yang kamu pikirkan, tidak ada apapun yang terjadi di antara kami."

Savera menatap laki-laki di sampingnya berusaha mencari agreement dari perkataannya, matanya membulat, kenapa, kenapa dengan lelaki itu yang bahkan nampak tidak peduli sama sekali?

"Sialan! Mengapa kamu diam saja bodoh! Benar-benar tidak membantu."

"Sudahlah Nona, akui saja. Kami semua melihatnya dengan sangat jelas. Anda tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, itu wajar." Damian menganggukkan kepala berusaha meyakinkan Savera bahwa semuanya wajar, ia dan yang lainnya akan tutup mulut.

"Wajar pantatmu! Hentikan semua pikiran konyol kalian!" Savera menatap tajam satu persatu remaja laki-laki itu.

Remaja laki-laki yang menggunakan kacamata bulat itu melangkah maju, ia menatap Savera dan lelaki itu dengan tatapan datar.

"Ayah." Remaja laki-laki itu mengangguk singkat pada lelaki yang tadi dahinya didorong Savera.

Savera yang mendengar lelaki itu dipanggil dengan panggilan ayah mengangkat alisnya, "Oh jadi putramu sudah menjemput dirimu. Baiklah sana kamu kembali ke rumahmu, jangan datang ke rumahku seenak jidat."

"..."

Savera menatap remaja laki-laki dan lelaki itu bergantian, ia sedikit tidak percaya bahwa mereka berdua adalah ayah dan anak.

Bagaimana tidak, sang ayah bertubuh tegap, tampan dan tinggi. Sedangkan remaja laki-laki itu, bertubuh lumayan tinggi dan sedikit gempal.

Wajahnya juga terlihat kusam berbeda dengan wajah lelaki itu yang bersinar terang tanpa noda sedikitpun.

Tapi akhirnya ia percaya, setelah membandingkan fitur-fitur wajah kedua orang itu, beberapa fitur yang dimiliki remaja laki-laki memang ada kemiripan dengan lelaki itu.

Savera mengangguk paham, ia sekarang menunggu acara lelaki kurang ajar itu diseret keluar dari rumah peninggalan orang tuanya. Enak saja tidak saling mengenal malah numpang makan.

"Ibu." Remaja laki-laki itu mengangguk, wajahnya masih datar tanpa senyum sedikitpun.

Savera mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruang makan, tapi tak ada seorangpun wanita yang dipanggil ibu oleh remaja ini hadir.

Ia melihat sekeliling hanya dirinya wanita satu-satunya disini. Lalu siapa yang remaja laki-laki itu panggil?

"Dimana ibumu?" Savera mengangkat alisnya bingung.

Setelah mendengar ini Kepala pelayan Alex hampir terjatuh.

Raven dan Damian hanya memandang bingung.

Dien dan satu orang remaja membuka mulutnya.

Remaja laki-laki dan lelaki itu terdiam tanpa kata.

Remaja laki-laki berkacamata bulat itu mengerutkan bibirnya, matanya menyipit ke arah Savera. Tidak mengatakan apapun, ia memasukkan tangannya ke saku celana, menarik kursi dan duduk.

"Kemarilah duduk, makanan akan segera dihidangkan."

Remaja laki-laki berkacamata bulat itu memandang orang-orang yang tadi datang bersamanya. Lelaki yang tadi dahinya didorong oleh Savera juga ikutan duduk di tengah-tengah kursi.

Savera memandang mereka semua dengan mata berkedip, "Sejak kapan rumahku menjadi tempat penampungan?"

"Pftt..." Raven yang sedang minum air sontak menyemburkannya, ia melirik Savera kesal.

Apa maksudnya? Apakah dia pikir dirinya adalah seorang gelandangan? Jangan salahkan dirinya, karena teman barunya yang mengundangnya kesini.

"Semalam anda kemana Tuan muda? Lalu apakah anda bertengkar lagi?" Alex menyerahkan serbet dan menatap khawatir pada remaja laki-laki berkacamata bulat itu.

"Maaf paman, aku lupa mengabarimu," Remaja laki-laki itu mengambil serbet dan memberikannya pada Raven, "Aku menginap di rumah teman baruku. Dan, yah seperti biasa."

Savera yang sedang berdiri menatap dalam diam adegan didepannya, "Jadi dia anggota keluarga paman? Kalau begitu tidak apa, anggap saja rumah sendiri." Savera melambaikan tangannya dan berlalu pergi.

Sekarang Savera sedang tidak ingin berkumpul dengan orang banyak. Jujur saja ia ingin menghabiskan waktu sendirian, jadi ia meminta pelayan membawakan makanan ke kamarnya.

Ia akan makan sambil menonton drama yang telah ia persiapkan sejak lama.

"Aku selesai, aku akan kembali ke atas." Lelaki itu berjalan tapi tiba-tiba berhenti, ia menolehkan kepalanya sedikit dan berkata dengan dingin, "Jangan lupa besok kita akan pergi ke rumah utama."

Tanpa menunggu balasan lelaki itu segera pergi meninggalkan ruang makan dengan mata berkilat dingin.

“Sepertinya otaknya memang sudah bergeser.” ujar laki-laki yang tadi dipanggil ayah.

One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang