12

7.6K 505 1
                                    

Malam harinya, Savera sedang berada di taman yang tak jauh dari daerah perumahannya ataupun perumahan Andina. Bisa dibilang taman ini adalah titik tengah antara perumahan mereka berdua.

Setelah pagi tadi membalas pesan Andina, mereka memutuskan untuk mengadakan pertemuan malam harinya.

Savera duduk di bangku taman, mengayunkan kakinya dengan pelan. Angin malam yang cukup dingin menerbangkan rambut hitam Savera. Tangannya yang tidak tertutup kain merinding karena dinginnya angin malam.

Kali ini taman terlihat ramai dengan pasangan muda yang sedang berjalan-jalan di sekitar, atau duduk-duduk di bangku seperti Savera.

Para penjual makanan tak luput memenuhi beberapa tempat yang semakin memeriahkan taman malam ini.

Savera temenung, ia kembali teringat. Saat-saat seperti ini biasanya akan ia habiskan dengan mengerjakan pekerjaannya yang menumpuk seperti gunung.

Tidak ada dalam kamusnya hari tanpa beban seperti sekarang, ia senang akhirnya setelah sekian lama dirinya dapat beristirahat.

Tapi, perasaannya semakin lama semakin mengganjal. Isi kepalanya masih terus memikirkan perusahaannya.

Savera hanya tidak habis pikir, bagaimana bisa hal seperti ini terjadi?

Apakah ada sesuatu yang tidak beres dengan isi kepalanya atau bagaimana?

Savera yang sedang melamun langsung kembali ke dunia nyata setelah mendengar teriakan keras yang tak jauh dari dirinya berada.

Kepalanya mengedar, mencari-cari keberadaan sumber suara. Matanya terfokus saat melihat anak lelaki yang sedang menangis sambil meraung-raung itu.

"Model penipuan apa lagi ini?" Ucap Savera sambil mengernyitkan dahi kebingungan.

Kakinya melangkah sendiri mendekati anak lelaki yang tampak berusia kurang dari 5 tahun itu.

"Hei bocah... Mengapa kamu menangis?!"

Vera menjaga jarak, khawatir kalau ada semacam jebakan yang membuat dirinya terjerat. Suaranya sedikit meninggi saat melihat anak lelaki itu menangis semakin kencang dan tetap menundukkan kepalanya.

"Hei bocah, apa kamu tidak mendengarku?"

Dengan pelan, anak lelaki itu mengangkat kepalanya perlahan. Tangannya yang gembul mengusap hidungnya yang memerah dan penuh ingus.

"Hiks Bibi... Pelmenku jatuh... Huweee!"

Sudut mata Savera berkedut saat matanya beralih pada aspal jalan yang kini terdapat satu tusuk permen yang terlihat hancur.

Savera bingung ia harus bagaimana?

Savera melirik pedagang yang sedang berkeliling lalu menatap anak kecil itu. Ia tau ibu kota bukan tempat sembarangan, tidak hati-hati akan bisa membuatnya dalam bahaya.

Tapi salahkan hatinya yang terlalu lemah pada anak kecil. Ia berjanji dalam hatinya untuk kedepannya tidak akan mudah bersimpati pada orang lain.

Dunia itu kejam bagi orang lemah.

Dan Savera tidak ingin menjadi orang lemah itu.

Savera diam-diam pergi meninggalkan anak kecil itu dan menghampiri pedagang keliling yang sedang menjajakan dagangannya.

Anak kecil itu menatap ke depan, tempat dimana tadi Savera berada. Matanya yang bulat berlinang air mata, terlihat semakin sedih saat tak ada seorangpun yang terlihat disisinya.

"Hiks... Benal kata Nenek, aku memang pembawa cial. Tidak ada ceolangpun yang akan peduli padaku."

Anak lelaki itu berdiri, tangannya mengusap air mata dan ingusnya dengan kasar.

One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang