27

6.8K 497 1
                                    

"Apa yang kamu lakukan, Ray?!"

Raya mengangkat alisnya bingung, ia menatap suaminya malas yang sedang menatapnya dengan tatapan mata yang tajam.

"Kamu tau kan bagaimana keadaan rumah tangga Savera, bisa-bisanya kamu mengatakan hal seperti tadi! Aku tau kamu sengaja kan!"

"Sudahlah sayang ini sudah malam, sebaiknya kita tidur saja," Raya yang sudah berbaring nyaman di kasur king size menepuk-nepuk sisi sebelahnya.

"Aku memang sengaja mengatakan semua itu, aku hanya merasa aneh saja. Savera yang sudah lama tidak berada di sini tiba-tiba kemari, aku kira keluarga Pradana bangkrut. Aku hanya mengkhawatirkan Savera, sayang."

Tentu saja hal itu hanya alibi Raya, dari awal ia memang tidak pernah suka akan sikap congkak dan pongah yang selalu Savera layangkan. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Jujur saja, sebagai wanita ia iri dengan hidup Savera yang selalu bergelimang harta. Bahkan di setiap postingannya di dunia maya, mampu membuat jiwa irinya bangkit dan berkobar sangat hebat.

Walaupun suaminya kaya, tapi tidaklah sekaya Arsenio. Bahkan jika kekayaan mereka berdua ingin dibandingkan saja tidak akan bisa. Raya hanya iri, iri pada segala hal kebaikan yang terus menuju ke arah Savera.

Kenapa? Kenapa tidak ia saja yang berada di posisi Savera, ia pasti akan sangat bahagia jika hal itu terjadi.

Ia bisa bebas membeli apapun yang ia mau, tidak seperti sekarang, sebagai istri personil angkatan udara membuatnya tidak bisa seenaknya.

"Baiklah, lain kali jangan diulangi sayang. Kamu tau kan seberapa tegangnya acara makan malam tadi," Glen memeluk istrinya dan mengelus perlahan rambut istrinya agar cepat tertidur.

Tubuh Glen terlentang, tatapannya menatap lurus ke arah atap kamarnya yang berwarna putih. Keadaan kamar yang sudah remang-remang itu memperlihatkan mata Glen yang semakin menajam.

"Aku tau kamu berbohong, Ray. Kamu sengaja melakukan hal itu, mengapa kamu mencari masalah dengan adikku?"

Berbeda dengan Glen yang masih sibuk dengan pikirannya. Savera dan Arsenio kini duduk di balkon kamar Savera ditemani secangkir kopi milik Arsenio dan tablet yang ada ditangan mereka masing-masing.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?"

Savera membuka pembicaraan dengan kegugupan yang berusaha ia tutupi. Berhadapan dengan laki-laki matang di suatu ruangan yang merupakan kamarnya sendiri jujur saja membuatnya sedikit nervous walaupun ia tahu kalau orang  ini adalah suaminya.

"Seharusnya saya yang bertanya begitu, kenapa kamu ada di sini? Gara-gara kamu, kakek selalu mengganggu saya terus menerus."

Arsenio menatap wanita di depannya dengan raut wajah datar, tablet ditangannya ia letakkan di atas meja. Kini ia benar-benar tampak serius di mata Savera, bahkan membuat Savera ingin menghilang begitu saja.

"Apa mau mu Nyonya Savera Pradana, kamu tau kan apa statusmu saat ini. Apakah kamu mau menciptakan rumor lagi? Membuat media mengatakan bahwa 'Nyonya Muda Kedua keluarga Pradana melarikan diri dari rumah karena suami yang tidak mencintainya' begitu?"

Tatapan Arsenio yang semakin menajam mau tidak mau membuat Savera semakin gugup. Kemana mental baja yang seharusnya melekat dalam nadinya? Kenapa bisa ia menjadi lemah dihadapan orang semacam ini?

"Wahai Tuan Muda Kedua, apa salahnya kalau saya merindukan kedua orang tua saya? Apakah itu adalah suatu kesalahan?"

Savera menatap Arsenio dengan tatapan pongahnya, mau bulan terbelah menjadi dua ia tidak akan pernah mau menunjukkan kelemahan di depan siapapun. Bahkan di depan laki-laki yang berstatus suami dalam Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarganya.

Biarkanlah orang-orang mengatakannya sok kuat dan sok pemberani, karena pada kenyataannya ia benar-benar takut saat ini!

"Yang salah adalah kamu tidak memberi tahu saya maupun kakek, kamu mau membuat saya dicincang sampai mati? Saya tidak mau hal ini terulang untuk kedua kalinya, sebaiknya segera hubungi kakek. Karena saya... Tidak mau direpotkan untuk mengurusimu lagi."

Arsenio mengambil tabletnya, kini ia berjalan kembali masuk ke dalam kamar Savera, "Oh iya, sepertinya kakak iparmu membenci dirimu," Ujar Arsenio yang tiba-tiba menghentikan langkahnya dan sedikit melirik ke belakang.

Savera menggenggam pegangan kursi dengan kuat menyalurkan rasa geramnya yang tidak akan bisa ia lampiaskan pada laki-laki menyebalkan itu.

Tapi, ternyata yang menyadari tentang kakak iparnya tidak hanya dirinya seorang. Ia cukup terkejut saat tahu bahwa laki-laki itu cukup peka ternyata.

ʕ •ᴥ•ʔ

"Maaf, Kakek. Iya aku akan segera pulang ke sana saat sudah puas tinggal di sini. Iya kakek baiklah, Galang dan... Arsenio juga ada di sini. Baiklah, aku tutup kakek."

Savera menghela nafas kasar, moodnya di pagi hari yang cerah langsung berantakan saat laki-laki yang dari semalam tidur di sofa membangunkan dirinya hanya untuk menelpon Johannes Frans Pradana.

Savera melirik ke arah pintu kaca yang terhubung ke balkon kamarnya, bahkan matahari belum memunculkan sinarnya sama sekali. Dan laki-laki itu sudah begitu semangat untuk membuat harinya berantakan.

"Bagaimana?"

"Seperti yang kamu dengar, saya tidak akan kembali dalam waktu dekat. Sebaiknya kamu segera pergi dari sini, karena saya tidak ingin satu ruangan bersamamu lagi."

Savera beranjak dari tempat tidurnya, ia membuka lemari pakaiannya dan mengambil setelan baju olahraganya. Dari pada menanggapi Arsenio ia lebih memilih untuk mempersiapkan diri, karena sebentar lagi putranya itu pasti akan menjemputnya.

.
.
.

Galang yang sedang dalam perjalanan menuju kamar Savera terpaksa memberhentikan langkahnya saat 2 orang di depannya yang menjabat sebagai sepupunya menghentikan pergerakannya.

"Kak Galang mau kemana?" Tanya gadis berusia 11 tahun itu.

"Maaf Kak, kakakku terlalu bersemangat sampai menghalangi jalanmu, kemarilah kak," Nata menarik lengan Citra agar segera bergeser dari jalan yang ingin dilalui Galang.

"Ngga papa, Nata. Aku ingin menemui ibuku untuk olahraga bersama, apakah kalian ingin ikut?"

Galang sedikit melirik ke arah langit yang masih cukup gelap gulita, tapi untuk jogging pagi jam segini hampir saja kesiangan baginya dan ibunya. Tapi, kenapa anak yang sepertinya masih bayi ini sudah bangun jam segini?

"Benarkah? Asikk aku ingin ikut kak!"

Tanggapan semangat dari Citra hanya dibalas dengusan malas oleh Nata. Sering sekali ia merasa jika sepertinya ia sudah tertukar oleh kakaknya sendiri, karena sepertinya yang lebih cocok jadi kakak adalah dirinya sedangkan kakaknya lebih cocok jadi adiknya.

Padahal jika dilihat dari segi usia, ia jauh lebih muda 3 tahun dari usia kakaknya yang bahkan sudah menginjak usia 11 tahun. Entah dirinya yang terlalu bersikap dewasa atau kakaknya yang terlalu kekanak-kanakan?

.
.
.

Gila, mulut Arsenio emang belum di filter. Aku kutuk kamu jatuh cinta sama Savera xixi

One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang