"Galang, kamu tidak ingin menjenguk ibumu?" Wanita paruh baya yang sedang sibuk dengan bunga dan vasnya memandang anak laki-laki yang sedang berdiri sambil menatap ke arah luar jendela.
Anak laki-laki itu terdiam sebentar sebelum menjawab, "Tidak, Nek. Untuk apa aku menjenguk wanita itu?"
"Galang, bagaimana pun dia adalah ibumu bukan? Sampai kapan kamu akan bersikap acuh tak acuh pada kedua orang tuamu?"
"Sampai kapan...?" Galang menunduk dalam, tanpa sepengetahuan wanita paruh baya itu matanya berkilat dengan kesedihan, "Sampai dia merasakan apa yang aku rasakan sejak kecil."
Tangan wanita itu yang sedang menyemprotkan air ke bunga mawar terhenti kala mendengar jawaban penuh tekad dan ambisi membalas dendam.
'Seberapa kejam Savera hingga cucuku menjadi seperti ini?' Batin wanita paruh baya itu sambil menghela nafas panjang.
Dari dulu memang semuanya tidak pernah berjalan dengan baik, tapi ia tidak mengira jika hal yang ada benar-benar sangat buruk dari apa yang ia bayangkan.
Bagaimana bisa hubungan antara orang tua dan anak begitu renggang? Bagaimana cara memperbaikinya?
Dendam yang sudah tertanam lama pastinya akan mengakar dengan kuat dan akan sulit dilepas, jadi apakah cucunya itu akan memaafkan orang tuanya dengan mudah?
Ia hanya bisa berharap yang terbaik untuk kedepannya bagi mereka semua.
Bunga mawar di depannya tiba-tiba menggugurkan salah satu kelopaknya, tangan wanita paruh baya itu terulur perlahan dan meletakkan kelopak mawar itu di telapak tangannya.
"Semua pasti akan baik-baik saja, semuanya akan berjalan ke arah yang lebih baik kedepannya." Ujarnya sambil tersenyum tipis memandangi kelopak mawar ditangannya.
°°°
"Paman, bibi... Ayolah jangan menyiksa diri kalian sendiri, Savera tidak apa-apa. Ia hanya pingsan, kalian harus menjaga diri kalian. Bayangkan jika Savera sadar dan mengetahui bahwa orang tuanya sedang sakit, bagaimana perasaannya?"
Barbara menatap dua orang paruh baya didepannya dengan pandangan yang memprihatinkan. Ia mengalihkan pandangannya pada seorang wanita yang terbaring di ranjang dengan wajah pucat.
"Ini sudah hampir 3 hari berlalu dari waktu kecelakaan, tetapi mengapa Savera belum sadarkan diri?!" Wanita paruh baya itu mencengkram lengan lelaki paruh baya di sampingnya, giginya bergemeletuk dengan kesal.
"Tenanglah istriku, mungkin benar seperti apa yang dikatakan Barbara. Kita saja yang terlalu khawatir."
"Tidak suamiku! Coba lihat, betapa malangnya putriku. Ia bahkan tidak ditemani oleh suaminya, bahkan putranya saja tidak berada di sini."
"Seharusnya.... dulu aku tidak mengizinkan ayah mertua untuk menikahkan Savera dengan lelaki bajingan itu! Betapa malangnya hidup putriku selama ini." Wanita paruh baya itu mengusap sudut matanya yang dialiri cairan bening.
"Ehem!" Lelaki paruh baya di sampingnya berdeham dengan keras, ia menyenggol wanita paruh baya di sampingnya, "Apa kamu lupa, di sini masih ada Barbara."
"Lalu kenapa?! Dia akan mengadukannya pada Arsenio bajingan itu?! Apa peduliku!" Teriaknya sambil menatap Barbara dengan nyalang.
Wanita paruh baya itu menyentuh punggung tangan Savera, ia menatap putrinya dengan pandangan sedih.
"Apakah sebaiknya kita bawa Savera kembali ke rumah kita? Untuk apa ia berada di sini jika tidak ada yang peduli padanya? Lebih baik kita urus perpisahan mereka."
"Tidak! Savera akan tetap di sini, bersama keluarga kami dan Arsenio!" Ucap seseorang yang menyela ucapan wanita paruh baya itu.
Mereka bertiga menoleh ke arah pintu, manik mata Barbara melebar dengan sangat tidak anggunnya. Ia benar-benar terkejut kali ini, ia hanya berpikir apakah kakeknya itu sebegitu sayangnya pada Savera?
"Kakek?! Kenapa kakek di sini? Kakek tidak diizinkan keluar rumah bukan?" Dengan cepat Barbara berlari ke arah pria tua yang sedang berdiri sambil memegang tongkat.
"Jika aku tidak datang ke sini, pasti Savera tidak akan menjadi istri Arsen lagi bukan?" Ucap pria tua dengan dingin, "Kalian tidak akan pernah bisa mengambil Savera dariku. Ini adalah janjiku bersama Anton, Kakek Savera."
"Tuan Pradana... Aku tau, jika pernikahan Savera dan lelaki itu adalah campur tangan anda dengan ayah mertuaku bukan? Sudah cukup selama ini aku pura-pura tidak tau apa-apa. Apakah menurutmu aku akan membiarkan putriku terus menerus menderita?"
"Tentu saja tidak! Jika aku membiarkan hal ini terus terjadi..." Wanita paruh baya itu kembali menolehkan kepalanya dan mengelus punggung tangan Savera, "Aku akan menjadi ibu yang benar-benar buruk."
"Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan Savera berpisah dari Arsen! Itu akan terus kulakukan selama aku masih hidup."
Pria tua itu berjalan semakin mendekat ke arah Savera, pandangan matanya kini melembut saat melihat wanita cantik di hadapannya yang sedang tertidur dengan nyenyak.
"Tuan Pradana, apakah anda dan ayah saya tidak cukup hanya menghancurkan masa muda putriku?" Suara yang tiba-tiba terdengar itu menghancurkan suasana hening dalam ruangan.
Wanita paruh baya itu menoleh dengan kaget, ia tidak percaya bahwa suaminya akan mau membuka mulut untuk berdebat dengan pria tua itu.
"Aku dan Anton tidak menghancurkan masa muda Savera."
"Tidak kata anda? Apakah anda yakin? Kalian yang menjebak Arsen dan Savera bukan?!"
Deg!
Jantung Barbara tiba-tiba berdetak dengan hebat, 'Apa ini? Aku, aku tidak tau apapun tentang hal ini.'
Barbara melirik kakeknya yang masih menundukkan kepala untuk menatap raut wajah Savera, Kakeknya itu terlihat tenang tanpa terganggu sedikitpun.
Barbara terus menunggu balasan yang akan dilontarkan kakeknya, tetapi sudah lewat 1 menit kakeknya itu tidak mengatakan apapun.
Jadi, apakah hal itu adalah sebuah kebenaran atau kebohongan?
"Yang aku dan Anton lakukan adalah hal yang terbaik untuk keduanya."
"Tapi, mungkin kalian lupa. Bahwa kalian bukan orang tua Savera dan Arsenio. Tau apa kalian tentang hal yang terbaik untuknya? Aku saja yang merupakan ibunya tidak pernah menuntut hal macam-macam padanya-"
"Cukup! Aku bilang ini adalah yang terbaik!" Pria tua itu berteriak, wajahnya memerah menahan amarah.
Barbara mendekati pria tua itu dan mengelus lengannya naik turun, "Sudahlah kakek jangan marah. Tekanan darahmu bisa naik karenanya."
'Tenang saja Savera, aku akan selalu ada di sisimu. Aku akan terus mendukungmu. Aku tidak akan pernah membiarkan orang lain menyakiti cucu kesayangan Anton.'
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Holy
General FictionSavera Clearista, seorang wanita karir sekaligus pengusaha sukses. Menjadi salah satu wanita yang duduk di puncak kekuasaan dunia bisnis. Ia memiliki semuanya; harta, tahta. Apalagi yang ia butuhkan? Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa ia ha...