50

6.9K 464 3
                                    

Tuk!

“Jangan berpikiran macam-macam sayang.”

Savera tak menjawab, ia lebih memilih menggeserkan tubuhnya sedikit menjauhi Arsenio. Tapi mereka tidak bisa terlalu jauh, karena jika Savera melakukan hal ini ia bisa terjatuh dari ranjang rumah sakit.

Jangan salahkan Savera, salahkan saja Arsenio yang tiba-tiba naik ke ranjang pasiennya dan tidur di dalam pelukannya.

Setelah menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan, Savera siap untuk menghadapi pelakor yang merupakan kekasih masa lalu suaminya.

“Jadi mau apa,” ujarnya dingin.

Arsenio beranjak dari ranjang, entah mengapa tiba-tiba saja ia merasakan angin dingin yang menerpa tubuhnya. Ia kini berdiri di antara Savera dan Quenzi yang masih saling menatap.

“Aku dan Quenzi tidak ada apa-apa.”

Savera mendengus lirih, jangan kira ia melupakan kejadian terakhir kali yang membuatnya harus mengungsi sampai ke rumah Tuan Wijaya. Ditambah dengan kejadian tempo hari di pesta, Savera gemas sekali pada mereka berdua.

Tunggu sebentar, terakhir kali kan ia berada di rumah Wijaya, lalu mengapa tiba-tiba ia ada di rumah Arsenio. Kenapa bisa ia tidak ingat kejadian selanjutnya? Awalnya ia berada di rumah Wijaya lalu minum bersama Reno... Setelahnya apa yang terjadi?

Jangan-jangan, astaga! Sungguh?

Tidak, mari memikirkan itu nanti, kini fokusnya harus kembali pada kedua sejoli itu.

“Hanya itu yang membuat kekasihmu jauh-jauh datang kemari?”

“Quenzi bukan kekasihku, Sayang,” Arsenio menghela nafas, tangannya berusaha meraih jemari Savera namun ditepis oleh wanita itu.

“'Seharusnya sekarang aku menikah dengan Quenzi', bukankah begitu yang anda bilang Tuan Muda Pradana?” tatapan sinis tak pernah lepas menatap dua manusia dihadapan Savera, “Ceraikan aku setelah bayi ini lahir.”

Bola mata Arsenio membulat sempurna, ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran wanitanya. Di sini ia berniat untuk menjelaskan keadaan, tapi seenaknya Savera meminta cerai?

“Jangan harap aku akan mengabulkannya, Savera. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melepaskanmu.”

Quenzi yang sedari tadi menjadi pengamat makin lama makin tidak nyaman. Ia tidak ingin semakin lama menjadi nyamuk di dalam ruangan ini.

“Aku dan Nio memang tidak ada apa-apa Savera, kami hanya teman biasa. Awa--”

“Maaf menyela ucapan anda, tetapi kita tidak sedekat itu hingga bisa saling memanggil dengan nama Nona Quenzi.”

Quenzi meringis tak enak, Arsenio juga belum membantunya mau tak mau ia harus menghadapi ini sendiri, “Maaf Nyonya. Awalnya saya memang berniat untuk kembali dengan Arsenio.”

Tuhkan, Savera bilang juga apa! Memang paling benar seharusnya tidak berharap dengan manusia.

“Tetapi itu hanya pikiran ngawur saya yang tidak berani saya realisasikan. Awalnya juga Tuan Wijaya mengajak saya bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”

Alis Savera terangkat sebelah, ia menatap Arsenio yang berdiri di sampingnya. Seolah mengerti Arsenio menganggukkan kepalanya seolah membenarkan.

“Awalnya saya setuju karena terbutakan oleh perasaan sesaat saya, Tetapi akhirnya saya mengkhianati Tuan Wijaya. Dan saya tidak menyangka bahwa Tuan Wijaya akan berani menyebarkan berita bohong tentang saya dan Nio.”

Jadi, mereka menumbalkan Reno atau memang Reno dalang dari semua ini? Agak tidak mungkin jika pria yang ia kenal selama ini adalah orang yang membuat ia salah paham dengan suaminya sendiri. Yah walaupun memang dari awal ia tidak dekat dengan Arsenio.

Selain itu perusahan Pradana dan perusahaannya juga terdampak dari beredarnya foto-foto antara Arsenio dan Quenzi, walaupun Pradana Group mendapatkan lebih banyak momentum.

“Semua yang aku lakukan selama ini dengan Quenzi agar kami bisa mendapatkan bukti kelakuan Reno. Aku akan membalas perbuatan Reno secepatnya, bukti sudah terkumpul.”

“Tidak usah.”

“Kenapa? Kamu mencintainya huh?”

Savera berdecak, kalau mau cemburu tidak perlu menuduhnya juga. Eh, cemburu? Arsenio cemburu? Sungguh?

Savera tersenyum tangannya terangkat dan segera menarik pipi Arsenio. Savera semakin terkikik geli saat pipi itu semakin memerah dan menjalar sampai ke telinganya.

Quenzi sendiri menghela nafas, dengan langkah sepelan mungkin ia memilih untuk pergi dari tempat ini tanpa pamit.

“Biar aku yang memberi pelajaran pada Reno.”

.
.
.

Sudah sejak beberapa hari belakangan ini Galang sibuk dengan acara MOS di sekolahnya. Sekarang ia resmi satu sekolah dengan Raven, Damian, Dien dan Arya.

Dan yang lebih beruntungnya mereka juga mendapatkan kelas yang sama. Selama MOS berlangsung kelima remaja tersebut telah banyak melakukan kenakalan. Yang tentunya tidak semuanya diketahui oleh pihak OSIS.

Jangan heran, jika mereka kini menjadi incaran para gadis di berbagai angkatan. Selain karena wajah mereka yang tampan jangan lupakan kekuasaan dan uang yang berada di belakang mereka.

Kelima pria itu berjalan berdampingan menyusuri lorong sekolah. Pagi hari sebelum bel sekolah pertanda masuk berbunyi, para siswa maupun siswi masih tampak berlalu lalang di sekitar sekolah.

“Ka-kak Raven.”

Walaupun yang dipanggil hanya Raven, kelima remaja itu berhenti secara bersamaan. Raven mengernyitkan dahinya, mau apa gadis itu berdiri menghalangi jalan mereka?

“Minggir, gue ngga menerima sumbangan.”

Damian bersiul, ia saling bertatapan dengan Arya. Kedua remaja itu seolah gampang konek jika masalahnya menyangkut perempuan.

Siapa yang tidak tergoda, gadis cantik namun imut yang menghadang mereka cukup punya nyali. Mari mereka lihat keributan apa yang akan terjadi.

“Bukan itu kak, a-aku suka sama kakak. Kakak mau ngga jadi pacar aku.”

“Ya ampun sama.”

Gadis itu langsung mengulas senyum dengan lebar. Kebahagiaan langsung membuncah dari dalam dirinya. Mimpi apa ia semalam bisa disukai balik oleh Raven? Bisa demam ia jika ini diteruskan.

“Itu kan yang lo pengen gue jawab?” Raven terkekeh sinis saat senyum yang tadi terukir kini menjadi kaku, “Sayang banget gue udah punya cewek, dan gue juga ngga bakalan tergoda sama cewek modelan kaya lo.” ujar Raven kemudian pergi diikuti oleh Galang dan Dien.

Uhuk! Sejak kapan Raven menjadi sangat sadis kepada gadis? Dia seolah bukan lagi Raven yang Damian kenal. Atau pelet yang ia berikan kepada tunangan Raven manjur?

Setelah mengirimkan kode lewat tatapan mata kepada Arya, Damian akhirnya ikut menyusul Raven ke dalam kelas mereka.

“Maaf banget ya, tadi Raven ngga bermaksud buat nyakitin kamu,” Arya mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan memberikannya pada gadis dihadapannya.

Hiks.. Ga papa kok, ini salah aku.”

Arya menggeleng tak setuju, “Kamu ngga salah, cuma waktunya aja yang ga tepat. Hati kamu terlalu cepat meletakkan perasaan, lain kali sebelum menjatuhkan hati harus cari tau dulu ya, jangan nangis nanti cantiknya ilang.”

Blus!

Pipi gadis itu memerah setelah Arya menepuk puncak kepalanya pelan. Jantung gadis itu berdetak lebih cepat dua kali lipat.

“Aku bakal nyelidikin kamu.” ujar gadis itu sembari menatap kepergian Arya.




One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang