Berbeda dari pikirannya, Savera kira ikut Ibu mertuanya bertemu dengan teman-teman sosialitanya tak memerlukan waktu yang lama.
Tapi, apa yang ia harapkan dari sekumpulan wanita yang tengah berkumpul? Mana ada pertemuan yang akan berakhir dengan singkat, kalau saja dirinya tidak bilang ada urusan mendadak tidak mungkin ia akan dilepaskan.
Yah, walaupun Savera akui perkumpulan itu menjadi salah satu ajang bagi perhiasannya untuk debut lagi hingga menjadi terkenal di kalangan atas. Tunggu sebentar lagi, pasti mereka semua akan datang kepadanya.
Kini Savera tengah memasuki restauran yang paling dekat dengan tempat pertemuannya tadi. Jangan tanyakan kenapa ia bisa terdampar disini, sudah jelas karena ia harus jaga image di depan para istri berpengaruh itu.
Setelah tadi pagi Ibu mertuanya tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya dan mengajaknya pergi, ia sama sekali belum sempat untuk sarapan bahkan sampai menjelang makan siang.
Setelah duduk di mejanya dan memesan beberapa makana Savera sibuk dengan iPadnya, kembali mendesain perhiasan yang sangat terkenal di kehidupan sebelumnya.
Wajahnya tampak serius sekali memikirkan serta mengingat-ingat bentuk yang sangat mengagumkan itu.
'Tolong maafkan saya siapapun yang menjadi pencetus ide ini, maaf karena saya telah mengambilnya di kehidupan kali ini.' batinnya sambil pura-pura menghapus pipinya.
"Nyonya Savera?"
Savera mengangkat kepalanya disebelah kanannya kini terlihat seorang laki-laki ber jas biru langit tengah menatapnya sambil tersenyum tipis.
"Kebetulan sekali kita bertemu disini, Tuan Reno? Apakah anda juga akan makan siang di sini?"
Reno mengangguk sebagai balasan, laki-laki itu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Savera. Mereka berdua hanya dipisahkan oleh meja yang berbentuk persegi itu.
Pesanan Savera akhirnya datang dan kini berganti Reno yang memesan makanan dan menunggu.
"Apakah anda sendiri saja, Nyonya?"
Savera menyipitkan matanya merasa terganggu, sebelumnya saat laki-laki itu duduk dihadapannya tanpa permisi ia ingin menegurnya. Namun karena hal ini tidak terlalu mengganggu akhirnya ia diam. Tapi, kenapa akhirnya laki-laki itu malah banyak tanya?
"Iya."
"Papi, eklimnya enyak."
Savera mengalihkan perhatiannya pada anak laki-laki yang tengah memegang es krim yang ia tebak rasa cokelat karena warnanya.
"Saya kira anda sendiri?"
Reno terkekeh sebentar, lalu ia mengangkat Kenan untuk duduk di samping dirinya.
"Tadinya saya ingin pergi sendiri. Tapi, karena ada bocah yang tiba-tiba menangis menghampiri saya akhirnya saya mengajaknya jalan-jalan." Ujarnya sambil melirik Kenan yang sibuk menghabiskan es krimnya.
"Kenapa menangis?"
"Entahlah, coba tanyakan saja pada orangnya?" Balas Reno sambil mengangkat bahunya tak acuh.
Setelah diam beberapa saat akhirnya Savera beralih menatap Kenan, "Hei anak ganteng? Kata Papi mu kamu habis menangis?"
"I-iya, Ta-tante." Jawab Kenan dengan kegugupan yang terlihat jelas.
Savera mengernyitkan dahinya bingung, ia menyadari jika panggilan bocah itu untuknya berbeda kali ini. Yang membuatnya penasaran adalah apa yang menyebabkan anak laki-laki itu merubah nama panggilannya?
"Kalau Tante boleh tau, Kenan kenapa menangis?"
"Ndak papa, Ken cuma pengen aja."
Tatapan Savera masih tak beralih dari Kenan, ia masih terus menerus menatap anak laki-laki itu dengan penuh selidik. Sedangkan Kenan yang ditatap terus menerus merasa gelisah.
"Be-benel kok, Ken ndak papa. Cu-cuma kelilipan."
"Hmm, yakin..?"
Kenan berusaha mempertahankan wajah tegasnya yang terkesan imut. Sudut bibir Kenan perlahan-lahan turun ke bawah, membentuk lengkungan menyedihkan.
"Hiks, hiks..."
Savera diam menatap Kenan yang malah berjalan mendekati dirinya sambil menangis. Anak laki-laki itu malah memeluk kakinya sambil menangis tersedu-sedu.
"Ken, ada apa?" Tanya Savera lembut sambil mengusap bahu Kenan.
Mendapati Kenan tak kunjung membuka bibirnya, Savera mengangkat Kenan dalam pangkuannya. Tangan Savera terulur mengelus rambut Kenan yang kini berantakan.
"Mau cerita ke Tante, hm?"
"Hiks.. Ta-tadi, Ken ketemu Kak Galang, hiks."
"Lalu masalahnya di mana?" Tanya Savera kebingungan, apakah putranya itu mengganggu anak kecil imut nan lugu di pangkuannya?
"Kakak bilang jangan ganggu Bunda lagi hiks, kata Kakak Ken cehalunya cama Mami Ken aja, huhuu!" Kenan menatap Savera dengan air mata dipipinya, "Apa Ken harus nyusul Mami, Bunda? Tapi, Ken ngga tau Mami kemana?"
Masih dengan tangan yang mengelus bahu Kenan. Savera mengalihkan pandangannya menatap Reno yang tengah memakan hidangannya yang entah sudah datang sejak kapan.
Pandangan bertanya yang dilayangkan Savera membuat Reno menghentikan acar makan siangnya. Pria itu menatap Savera dengan alis terangkat.
"Ibu Kenan sudah pergi ke alam baka." Ujarnya acuh tak acuh.
Deg!
Sebentar, apa pendengarannya tidak bermasalah? Tidak mungkin bukan jika putranya memerintahkan anak kecil itu untuk... mati? Putranya yang polos itu?
Ah apa yang dia pikirkan, ia saja baru tau mana mungkin Galang tau tentang hal ini?
“Ssttt Ken jangan nangis lagi ya, Tante ga suka liat Ken nangis. Nanti gantengnya Ken ilang dong, jangan nangis oke?”
Masih dengan sesenggukan Kenan akhirnya menghentikan acara menangisnya dan kembali menatap Savera intens.
“Maafin Kak Galang ya, Kak Galang emang kadang-kadang galak. Besok lagi kalau Kak Galang jahat cium aja ya. Kenan boleh kok manggil Tante Bunda kaya biasanya.”
“Benelan?”
Melihat senyum riang diwajah Kenan mampu membuat senyuman terbit pula di wajah Savera. Tanpa Savera sadari Reno yang sedari tadi menatap interaksi antara Savera dan Kenan juga ikut menyunggingkan senyumnya.
Pastinya tidak rugi baginya untuk merebut sesuatu yang tidak diharapakan bukan?
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Holy
General FictionSavera Clearista, seorang wanita karir sekaligus pengusaha sukses. Menjadi salah satu wanita yang duduk di puncak kekuasaan dunia bisnis. Ia memiliki semuanya; harta, tahta. Apalagi yang ia butuhkan? Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa ia ha...