“Tidak! Aku mohon jangan melakukan ini lagi!”
Wanita itu terus berjalan mundur, menghindari sesuatu yang terus bergerak mendekatinya. Wajah ketakutan wanita itu sangat kontras dengan wajah orang yang mendekatinya yang malah tampak sumringah.
Bugh!
“Ahh! Aku mohon hentikan!”
Tawa terus mengudara dari bibir orang itu. Tongkat baseball di tangannya terus menerus bertabrakan dengan kulit wanita yang sudah jatuh terduduk itu.
“Hmm ini sangat menyenangkan, sayang. Sudah seharusnya kamu mencobanya.”
Bugh!!
“Aaa! Aku mohon hentikan.”
“Tidak tidak, belum saatnya berhenti. Tongkatku belum kenyang karena darahmu belum mengenainya. Ayolah, kemari jangan takut.”
Wanita itu terus mundur, berulang kali kakinya berdiri dan berulang kali pula tubuhnya terjatuh. Sudah tak terhitung berapa banyak luka yang disebabkan tongkat baseball milik orang didepannya.
Bahkan jarinya saja tak cukup untuk menghitung luka yang disebabkan.
Tring! Tring! Tring!
“Sial! Tunggu, jangan pergi kemana-mana!”
Wanita itu menghela nafas, masih dengan nafas yang tak beraturan dan mata yang terus mengawasi sekitar. Wanita itu mengambil ancang-ancang untuk meninggalkan rumah yang menjadi sangkar emas baginya.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung bagi setiap orang malah menjadi tempat penyiksaan baginya. Sudah cukup ia menerima penyiksaan itu selama ini, sudah seharusnya ia mengambil keberaniannya untuk pergi dari sini.
Wanita itu berjalan mundur, bibirnya ia gigit agar tak mengeluarkan suara. Kaki kirinya sedikit terseok-seok mengikuti tubuhnya yang terus saja berjalan.
“Sshhh...”
Wanita itu mengusap peluh di pelipisnya, sesuatu yang ia kira keringat ternyata adalah darah yang mengalir tiada henti. Mungkin ini karena tadi ia tidak sengaja terhantuk oleh pojok meja.
Kepalanya semakin berdenyut, tubuhnya terasa kaku. Sudah berulang kali ia harus menyadarkan diri untuk segera terlepas dari sangkar emas itu. Ia sangat takut apabila orang itu segera menemukannya yang tengah berusaha lepas dari tempat ini.
“Hei! Dasar wanita sialan? Kemari kamu!!”
Nafas wanita itu tercekat, ia menoleh dan mendapat orang itu mengacungkan tongkat baseball ke arahnya dan segera berlari mengejar dirinya.
“Ahh! Tuhan tolong bantu aku...”
Dengan kesadaran yang hampir diambang batas, wanita itu terus berlari tak peduli dengan bebatuan yang menusuk kaki telanjangnya.
“Hah akhirnya.”
Wanita itu bernafas lega saat kakinya berhasil menginjak trotoar jalan raya. Manik matanya melirik ke jalan raya, banyak mobil berlalu lalang melintasinya tanpa ada satu pun yang berniat untuk berhenti.
Wanita itu menoleh ke belakang, orang itu hampir berhasil mengejarnya. Apakah ini akhir baginya? Kalau sampai ia kembali ia tidak yakin akan bisa hidup lagi.
Bukankah jika akhirnya seperti itu lebih baik jika ia mati saja sekarang?
Dengan senyum yang perlahan-lahan terpatri, wanita itu memundurkan langkahnya semakin mendekat ke jalan raya. Saat cahaya mobil mengarah ke arahnya ia semakin melebarkan senyum.
“Selamat tinggal.”
Perlahan-lahan mata wanita itu tertutup, ia menarik nafas panjang tanpa ketakutan. Perlahan tapi pasti tubuh wanita itu meluruh bertepatan dengan sebuah mobil yang melaju semakin kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Holy
General FictionSavera Clearista, seorang wanita karir sekaligus pengusaha sukses. Menjadi salah satu wanita yang duduk di puncak kekuasaan dunia bisnis. Ia memiliki semuanya; harta, tahta. Apalagi yang ia butuhkan? Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa ia ha...