46

5.7K 412 2
                                    

Ia bingung harus memulai dari mana cerita ini.

Yang ia bisa pastikan, hidupnya berubah 180° saat ia akhirnya bersama dengan laki-laki itu. Laki-laki pilihannya sendiri yang ternyata malah menjerumuskannya ke dalam jurang kesengsaraan.

Menyesal?

Sudah pasti. Ia akui ia sangat menyesal.

Ia menentang kehendak kedua orang tuanya hanya untuk laki-laki tidak tau diri seperti itu. Laki-laki yang ia gadang-gadang menjadi sandaran ternyaman baginya.

Ternyaman? Ia ingin tertawa sekarang saat melihat kenyataan yang berbanding terbalik dengan ekspektasinya.

Memang ya kita tidak boleh menaruh harap pada seonggok daging yang sudah dengan baiknya Tuhan berikan nyawa.

Tatapan mata memuja yang dulu ia berikan kini berubah menjadi tatapan datar. Manik matanya menyorot lurus pada laki-laki itu. Laki-laki yang dengan percaya dirinya berdiri di hadapannya dengan senyuman seolah tidak mempunyai salah.

Ia kini kembali bertanya-tanya, telah dibuang kemana otak laki-laki itu?

“Ayo sayang kita pulang?”

Teresha menunduk, sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. Oh ayolah, kenapa laki-laki ini malah melawak dihadapannya? Bahkan ia sudah mempertaruhkan nyawanya untuk bisa pergi dari laki-laki itu tapi kini laki-laki itu malah ingin membawanya kembali?

Bastard!

Jika ia kembali bukankah ia akan semakin tidak waras?

“Tidak.”

Senyum yang telah laki-laki itu umbar sedari tadi perlahan memudar. Laki-laki itu memandang Teresha dengan pandangan datar.

Berani sekali wanita tidak tau diri itu menolak kebaikan yang ia berikan? Masih untung ia mau menampung Teresha kembali.

“Apa yang kamu bilang, sayang?”

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menginterupsi percakapan mereka berdua. Savera menatap bergantian antara Teresha dan pintu. Setelah mendapatkan anggukan dari Teresha, Savera pergi menghampiri pintu meninggalkan sepasang suami-istri yang tengah saling menatap.

Laki-laki itu berjalan mendekat, wajahnya sudah memerah menahan amarah sedari tadi. Tangannya terkepal, ingin sekali ia melampiaskannya pada orang dihadapannya yang tengah tak berdaya.

“Sekarang kamu mulai berani heh? Sudah bosan hidup ternyata.”

Teresha bergeming, ia masih tetap mempertahankan kebungkamannya. Menarik emosi laki-laki yang sayangnya masih berstatus suaminya bukanlah hal yang ia rekomendasikan.

Teresha tau pasti, jika Savera tidak segera kembali dalam waktu dekat ini bisa saja ia habis di tangan suaminya. Tapi, sebisa mungkin ia tidak akan menyulut emosi suaminya.

“Kenapa kamu berubah?” tanya Teresha lirih.

Suaminya mengangkat alisnya, ia tiba-tiba tertawa seolah meremehkan pertanyaan Teresha. Tangannya mengusap kasar wajahnya agar berhenti tertawa. Ia akui, jika istrinya memang pelawak handal.

“Yang bikin aku kayak gini itu kamu sama keluarga kamu! Seenaknya ngeremehin aku mentang-mentang pekerjaan aku ngga begitu mapan.”

“Arghh! Lepasin!”

Dion, suami Teresha menarik kasar rambut hitam dari wanita yang tengah sakit itu. Dengan tangan yang terbalut infus, Teresha berusaha melepaskan genggaman Dion pada rambutnya.

Demi Tuhan, ini sakit! Kepalanya terasa seperti mau botak karena ulah Dion!

Setelah puas, Dion melepaskan rambut Teresha dengan kasar. Dion berjalan sedikit menjauh, langkahnya membawanya ke depan jendela kamar yang mengarah langsung ke hamparan ibu kota.

One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang