4

14.8K 797 2
                                    

Ruangan itu terlihat mencekam, dengan aura kemarahan yang keluar dari tubuh seorang laki-laki yang duduk di kursi kebesarannya.

Lelaki itu memandang ke empat lelaki yang menggunakan pakaian serba hitam dengan sorot mata tajam.

"Dasar tidak becus, saya membayar kalian untuk membawanya kesini bukan untuk menyakitinya! Dan sekarang malah kalian yang babak belur?!"

"Maaf Tuan kami gagal." Pimpinan lelaki berbaju hitam itu melangkah dan menundukkan kepalanya.

"Pergi dari ruanganku sekarang." Lelaki itu menatap dingin keempat lelaki yang sedang memberi hormat padanya lalu berjalan keluar.

Lelaki itu menghela nafas, menyatukan kedua tangannya didepan wajahnya, ia menerawang kedepan sambil bergumam, "Bagaimana? Bagaimana caraku untuk menghancurkannya. Aku tidak menemui kelemahannya sama sekali sialan! Orang itu sama sekali tidak peduli pada keluarganya atau siapapun..."

"...Aku tidak akan menyerah, suatu saat aku pasti akan menghancurkan dirinya." Ucapnya dengan mata yang berkilat dingin.

°°°

Makanan laut yang tadi tersaji di meja kini hampir semuanya masuk ke dalam perut Savera.

Savera adalah seorang pecinta kuliner terutama seafood. Tempat makan yang bisa memenuhi hasratnya dalam hal makanan laut adalah 'King Seafood'.

Namanya memang terlalu nyentrik, sebelumnya Vera kira jika pemiliknya adalah seorang pria, tapi ia salah ternyata pemiliknya adalah seorang wanita berusia hampir 50 tahun.

Savera saat ini sedang fokus menghabiskan kepitingnya sampai titik darah penghabisan.

Setelah selesai ia membuka sarung tangan yang ia pakai, Savera membersihkan sudut bibirnya yang ia khawatirkan keadaannya saat makan cukup memalukan.

Saat sudah yakin jika semuanya beres ia segera berjalan menuju kasir. Samar-samar ia mendengar suara yang kian lama semakin mengeras.

"Kalau tidak punya uang tidak perlu makan di sini. Sebelumnya begitu percaya diri untuk mentraktir kami, tapi sekarang? Dina, kamu benar-benar mempermalukan kami!" Seorang gadis berdiri menatap angkuh gadis lainnya yang berada di depannya.

"Benar apa kata Yena, orang miskin seperti kamu tidak seharusnya berteman dengan kami." Gadis lainnya yang berdiri di belakang gadis angkuh itu menatap tak suka pada gadis yang tengah menunjukkan ekspresi melas.

"Aku minta maaf, uangku ketinggalan. Bisakan kalian bayar dulu, besok aku janji akan balikin uangnya dan traktir kalian."

"Idih, Dina! Kamu udah janji tadi, itu urusan kamu mau bayarnya gimana, mau bayar pakai tubuh kamu juga kita ga peduli. Kita pulang duluan!" Ucap gadis angkuh itu dan berlalu pergi.

Jangankan gadis itu, Savera yang hanya menonton saja menjadi sedih sekaligus kesal.

Savera tentu saja tak bisa menyalahkan karena di sini dirinya hanya orang asing. Tapi sungguh, perkataan gadis tadi benar-benar kelewat batas.

Dan mereka dengan teganya meninggalkan gadis itu sendirian, intuisi Savera mengatakan jika dirinya harus membantu gadis itu. Kakinya seolah melangkah sendiri, Savera melangkah menuju kasir yang berjarak beberapa meter di depan.

"Permisi, saya mau membayar tagihan meja nomor sepuluh dan tagihan untuk nona yang di sana."

Kasir itu menganggukkan kepalanya dan memberikan bill tagihan untuk kedua meja. Savera sama sekali tak terkejut melihat nominal yang sudah menyentuh angka 4 juta itu.

Siapapun tahu jika makanan laut bukanlah makanan yang dikategorikan murah. Jadi dirinya dengan tenang mengambil kartu banknya dan membayarnya.

Savera kembali melirik Andina yang kini kembali duduk dan merenung. Savera mengangkat bahunya tak acuh dan berjalan keluar dari sana.

Sedangkan Andina tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, ia bingung bagaimana harus membayarnya. Ia tadi benar-benar tak sadar jika dirinya meninggalkan dompet bahkan ponselnya di rumah.

Dengan berat hati Andina pergi menuju kasir, perdebatan dirinya dan Yena menarik banyak perhatian pengunjung. Dirinya sungguh merasa malu saat ini.

"Anu, aku lupa bawa uang. Boleh aku membayarnya nanti? Aku akan meninggalkan nomor ponsel, kalian bisa menghubungiku untuk meminta pembayaran."

"Tidak perlu nona, barusan sudah ada yang membayar tagihan anda."

"Sudah dibayar? Jika aku boleh tahu siapa?" Tanya Andina penasaran.

Penjaga kasir itu menunjuk ke arah pintu, Andina mau tak mau mengikuti arah yang ditunjuknya. Sekilas ia dapat melihat siluet seseorang yang menggunakan gaun warna putih.

Sebelumnya Andina menggumamkan terimakasih pada penjaga kasir dan berlari keluar dengan cepat. Ia berhenti, mengedarkan pandangannya ke sekeliling arah.

Tapi tak ada tanda-tanda jejak keberadaan orang itu di sekelilingnya. Dina menghembuskan nafas kasar, "Benar-benar buruk, bahkan belum sempat mengucapkan terimakasih."

"Hei!" Di saat Andina melangkah pergi, suara seseorang yang cukup menenangkan memanggilnya.

"Apakah anda?" Andina menyipitkan matanya, pertanyaan yang terlontar dalam ucapannya sedikit ragu.

"Ya." Savera menyenderkan tubuhnya malas pada mobilnya sambil memainkan kunci di tangannya.

"Terimakasih banyak Nona," Andina mendekat ke arah Savera yang berjarak beberapa langkah, "Terimakasih atas bantuan anda hari ini, aku akan mengembalikan uangnya kepada Nona. Silahkan catat nomorku."

"Tidak perlu dikembalikan."

Savera menatap gadis didepannya dari atas ke bawah, baju sekolah masih melekat ditubuhnya. Savera menghela nafas berat, ia sama sekali tak asing dengan seragam itu. Seragam yang sama yang pernah ia gunakan sewaktu sekolah menengah atas.

Savera menatap manik mata Andina dan melanjutkan, "Rumah kamu ada di mana?" Tanyanya.

"Di jalan XX Perumahan B."

Mendengar itu, mata Savera seketika berbinar. Rumahnya berada tidak jauh dari rumah Andina.

"Baiklah, ayo saya akan mengantarkan kamu pulang."

"Ah... tidak perlu repot-repot Nona, aku bisa pulang sendiri." Tolak Andina dengan halus.

"Tidak apa, rumah kita tidak jauh," Savera membuka pintu mobilnya, meninggalkan Andina diluar mobil, "Ayo cepat masuk."

"Baik." Dengan ragu Andina masuk ke dalam mobil dan duduk di samping tempat pengemudi.

Segera Savera melajukan mobilnya menelusuri jalan raya dengan kecepatan yang sesuai aturan lalu lintas.

Disisi lain seorang lelaki berjalan tergesa-gesa memasuki sebuah ruangan yang berukuran luas. Lelaki lain yang mengenakan jas sedang bersender di sofa sambil memegang IPad di tangannya.

"Tuan, kabar buruk!" Lelaki yang berjalan tergesa-gesa itu datang dengan raut wajah cemas menghadap pimpinannya.

"Ada apa Nicol?" Lelaki itu tak mengalihkan pandangannya dari layar iPad di tangannya, matanya masih sibuk melihat hal penting di sana.

"Para pengawal kehilangan jejak Nyonya, Tuan."

Lelaki itu melirik asisten pribadinya dan kembali fokus pada layar iPad, lelaki itu diam tak menanggapi yang membuat Nicol bingung.

"Kenapa anda diam saja?"

"Lalu saya harus apa?" Tanyanya datar.

Nicol memandang pimpinannya dengan pandangan rumit, "Kalau anda lupa, sekarang musuh anda sedang gencar untuk menghancurkan anda."

Lelaki itu melepaskan kacamata yang sejak tadi ia pakai, ia mendongak menatap Nicol tanpa ekspresi, "Tentu saja saya ingat, tapi mungkin kamu yang lupa. Sejak kapan saya peduli dengannya? Yang menugaskan pengawal untuk melindungi dia itu kamu bukan saya."

"..."

Nicol bungkam, kata-kata pimpinannya memang benar. Tapi, tidak bisakah bosnya itu khawatir sedikit saja?

"Ayo, kita segera pergi ke tempat pertemuan."

One More Holy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang