Jemari lentiknya bergerak perlahan, kelopak matanya yang sudah tertutup selama berhari-hari kini perlahan terbuka.
"Aku kembali?" Gumamnya dengan suara serak.
Savera memegang keningnya dengan tangan yang bebas tanpa infus, tanpa sadar ia menghela nafas dengan berat seolah-olah dosa semua orang ada dipundaknya.
"Savera.. Arsenio.. Pradana. Sialan! Patricia pasti bercanda! Bagaimana bisa ia mengubah nama belakangku dan menambahkannya begitu saja?!"
"Bukankah sosok itu bilang jika ada apa-apa sebut saja namanya? Tapi, pasti dia berbohong karena tidak terjadi apapun!"
Manik mata Savera mengedar saat ia menatap ke sekeliling ruangan yang ia tempati kini terlihat sepi tanpa penghuni, ruangan besar itu hanya ada dirinya seorang sebagai makhluk hidup ditemani dengan bunga dan pohon hias.
"Kembali sendiri lagi bukan?" Savera tersenyum tipis, ia menegakkan tubuhnya dan meletakkan bantal tepat di belakang tubuhnya, ia merebahkan tubuhnya perlahan dan menutup matanya sembari menghirup udara dalam-dalam.
"Bukan... Mu.. Lan," Samar-samar suara dibalik pintu ruang rawat Savera membuatnya menyipitkan mata, kenapa ia begitu tak asing dengan suara ini? Suara yang terdengar akrab dan asing di saat bersamaan.
Ceklek!
Suara pintu dibuka membuat Savera mengalihkan pandangannya untuk menatap ke arah pintu, kepalanya ia miringkan untuk melihat siapa gerangan yang masuk begitu saja tanpa permisi.
"Adikmu sedang sakit dan kamu tidak kembali untuk menjenguknya? Iya mama tau, tapi tidak bisakah?! Benar-benar! Tidak usah pulang sekalian!"
Suara yang semakin mendekat itu membuat jantung Savera berdetak tak terkendali, entah kenapa matanya tiba-tiba memanas tanpa ia kehendaki.
"Tidak! Mama tidak marah, mama hanya kesal pada..." Suara itu terhenti kala matanya bersitatap dengan mata merah milik Savera yang kini sudah berair tak terkendali.
Ponsel di tangan wanita paruh baya itu perlahan-lahan turun, wanita paruh baya itu berjalan mendekati Savera dengan langkah pelan. Pandangan tak percaya masih keduanya layangkan disaat yang bersamaan.
"Apakah ini mimpi?" Ucap keduanya bersamaan.
"Kamu sudah sadar sayang? Akhirnya... Maafin atas sikap mama dulu ya sayang," Tangan wanita paruh baya itu tergerak untuk memeluk pundak Savera yang terlihat bergetar.
"Ma-ma? Apa ini mimpi? Jika iya tolong, tolong biarkan aku tetap berada di sini. Ma, aku merindukanmu!" Savera memeluk wanita paruh baya itu tak kalah kencang, ia meraung tak terkendali bersamaan dengan air matanya yang tumpah.
"Ada apa sayang? Mana yang sakit katakan pada mama?" Wanita paruh baya itu mengelus dari kepala hingga bahu Savera dengan lembut.
"Ssttt... Tenanglah sayang, apa begitu menyakitkan iya? Maafkan mama, bagaimana jika setelah kamu keluar dari sini kamu ikut tinggal lagi di rumah kami?"
Masih dengan sesenggukan, Savera menjauhkan tubuhnya dari tubuh wanita paruh baya yang menatapnya dengan penuh kasih sayang.
"Kita benar-benar akan pulang ke rumah?"
"Ya, tentu saja. Kakakmu yang menyebalkan itu juga akan segera kembali ke sini bersama dengan Raya dan cucuku yang lain."
Kening Savera berkerut dalam, apakah telinganya bermasalah lagi? Atau memang mamanya yang salah berucap? Tapi apa pedulinya ini hanya dunia mimpi yang indah.
"Cucu yang lain? Apa mama mengadopsi anak bahkan cucu?"
"Adopsi? Apa yang kamu bicarakan? Dia kakak kandungmu! Bagaimana bisa mama mengadopsi orang lain, sedangkan masih memiliki anak sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Holy
General FictionSavera Clearista, seorang wanita karir sekaligus pengusaha sukses. Menjadi salah satu wanita yang duduk di puncak kekuasaan dunia bisnis. Ia memiliki semuanya; harta, tahta. Apalagi yang ia butuhkan? Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa ia ha...